Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

NFT Bagai Buah Simalakama, Punya Potensi untuk Dikembangkan dan Disalahgunakan

NFT Bagai Buah Simalakama, Punya Potensi untuk Dikembangkan dan Disalahgunakan NFT | Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Indonesia sempat dikejutkan oleh sesosok pemuda yang berhasil meraup miliaran rupiah berkat foto selfie-nya yang diperjualbelikan sebagai non-fungible token (NFT). Hal tersebut tentu menarik perhatian masyarakat Indonesia yang akhirnya juga ikut menjual berbagai hal di marketplace NFT seperti OpenSea, berupa foto identitas diri hingga foto makanan.

Melihat fenomena ini Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) & COO Tokocrypto, Teguh Kurniawan Harmanda mengatakan fenomena Ghozali ini tentunya membawa angin segar bagi dunia NFT di Indonesia.

“Saya menyebutnya Ghazali Efek yaa, jadi ini merupakan angin segar bagi kita, karena dengan tidak langsung ia telah meningkatkan popularitas NFT di tengah masyarakat Indonesia. Tapi kini juga terlihat beberapa dampaknya,” sebutnya saat diwawancarai tim Warta Ekonomi, Kamis (3/2/2022).

Baca Juga: Menteri Keuangan India: BTC, ETH, dan NFT Tidak Akan Pernah Jadi Alat Pembayaran Sah di India

Khususnya di Indonesia, Harmanda akrab dipanggil Manda menjelaskan meski telah populer di Indonesia sejak 2021 lalu, ia menyatakan bahwa Indonesia masih terlalu dini dalam mengenal NFT.

“Kalau kita bilangnya NFT adalah tempat untuk menjual artwork atau karya seni, tentunya ini akan bermanfaat sekali bagi kreator dan kolektor. Tetapi kemudian sekarang malah disalahgunakan, ada yang upload foto identitas diri ada yang upload foto anak entah anak siapa itu,” ujarnya.

Ia menjelaskan hal ini bisa terjadi lantaran pasar NFT memang hal yang sangat baru di Indonesia. Oleh sebab itu, menurutnya, wajar belum ada aturan atau regulasi resmi terkait NFT. Terlebih lagi soal literasi, Manda menyebutkan saat ini orientasi masyarakat soal NFT hanya bersoal uang saja.

“Saat ini kami melihat literasinya mulai ke arah cuan cuan cuan saja ya, profitnya saja. Padahal kemungkinan seperti Ghazali itu hanya sepersekian yang bisa dapat duit miliaran. Oh, c'mon tidak semua orang bisa melakukan hal itu nggak kan. Nah ini yang kemudian menjadi salah paham dan paham yang salah juga di tengah masyarakat bawah dipikir semua yang dimasukkan ke NFT bisa dijual, kan nggak juga,” tegasnya.

Kasus Penyalahahgunaan NFT Global

Beda halnya dengan Indonesia, melansir dari riset blockchain Chainalysis yang menerbitkan pratinjau Laporan Kejahatan Kripto Chainalysis 2022 di mana mereka menyelam jauh ke dalam kegiatan terlarang NFT seperti perdagangan pencucian dan pencucian uang. Dalam laporan tersebut tertulis, seperti halnya dengan teknologi baru, NFT juga menawarkan potensi penyalahgunaan.

Penyalahgunaan tingkat tinggi, laporan Chainalysis melihat dua bentuk aktivitas terlarang di NFT yaitu cuci perdagangan untuk meningkatkan nilai NFT secara artifisial serta pencucian uang melalui pembelian NFT.

Menurut laporan tersebut, perdagangan pencucian NFT cenderung berada di wilayah hukum yang keruh. Sementara perdagangan pencucian dilarang dalam sekuritas namun perdagangan pencucian yang melibatkan NFT belum menjadi subjek tindakan penegakan hukum.

“Namun, itu bisa berubah karena regulator mengalihkan fokus dan menerapkan otoritas anti-penipuan yang ada ke pasar NFT.”

Secara umum, mencuci perdagangan di NFT dapat menciptakan pasar yang tidak adil bagi mereka yang membeli token yang meningkat secara artifisial, dan keberadaannya dapat merusak kepercayaan pada ekosistem NFT, menghambat pertumbuhan di masa depan.

“Kami mendorong pasar NFT untuk mencegah kegiatan ini sebanyak mungkin. Data dan analisis Blockchain memudahkan pengguna yang menjual NFT ke alamat yang telah mereka biayai sendiri, sehingga pasar mungkin ingin mempertimbangkan larangan atau hukuman lain untuk pelanggar terburuk,” tulis laporan tersebut.

Untuk pencucian uang, ditemukan nilai yang dikirim ke pasar NFT melalui alamat terlarang telah melonjak secara signifikan pada kuartal ketiga 2021, melintasi cryptocurrency senilai 1 juta dolar. Angka tersebut tumbuh lagi pada kuartal keempat, hanya di bawah 1,4 juta dolar.

Di kedua kuartal, sebagian besar kegiatan ini berasal dari alamat terkait penipuan yang mengirim dana ke pasar NFT untuk melakukan pembelian. Kedua kuartal juga melihat sejumlah besar dana curian dikirim ke pasar juga.

“Namun demikian, pencucian uang, dan khususnya transfer dari bisnis cryptocurrency yang terkena sanksi, merupakan risiko besar untuk membangun kepercayaan pada NFT, dan harus dipantau lebih dekat oleh pasar, regulator, dan penegakan hukum,” tulis Chainalysis.

Indonesia Belum Sepenuhnya Siap Menerima NFT

Melihat kesenjangan juga perbedaan yang cukup besar, ASPAKRINDO sendiri saat ini mengakui bahwa masyarakat Indonesia masih terlalu dini (early stage) dalam menerima NFT. Untuk itu Manda menyebutkan saat ini dibutuhkan stakeholder, kreator, dan kolektor untuk sama sama kompak membuat sebuah ekosistem yang sehat.

“Tanpa adanya stakeholder, kreator atau kolektor itu tadi maka kemudian sinergi ini tidak akan berkembang. Karena NFT yang sehat kan saling menguntungkan sebenarnya. Kolektor dia bisa mendapatkan barang yang original langsung dari orangnya lewat NFT karena kita melihat barang di NFT itu sudah definitely original,” tuturnya.

Manda juga berharap kedepannya ekositem dan sinergi NFT di Indonesia bisa nyaman dan sefleksibel mungkin. Karena terbilang baru ASPAKRINDO juga menyadari hal ini butuh pengawasan tanpa mengekang kreativitas.

“Karena balik lagi Indonesia ini terlalu liar gitu kan jadi perlu menggandeng asosiasi perlu bisa saling koordinasi antara lintas departemen dan kami juga berharap bahwa kehadiran ekosistem yang sehat ini jangan dijadikan sebagai sebuah ketakutan bagi pembuat regulasi. Justru kemudian ini bisa menjadi sebuah hal yang baru dan menarik karena kita ingin Indonesia bisa berkompetisi di dalam pasar digital,” ujarnya.

Menurutnya pemerintah juga harus bijak agar bisa menangkap peluang dari NFT ini. Ia khawatir jika regulasi yang cukup ketat dan kaku akan membuat para kolektor dan kreator kabur. Untuk itu ia menekankan meski NFT adalah produk baru namun ia bukanlah illegal activity jika digunakan sebagaimana mestinya melainkan terobosan dari teknologi yang baru di Indonesia.

“Tapi memang di sisi lain yang tadi saya bilang pengawasan dari pemerintah serta pembuat kebijakan itu perlu dan penting sekali. Tapi sekali lagi konsennya itu harus mengatur bukan mengekang” tutupnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Nuzulia Nur Rahma
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: