Pernyataan Gubernur Jawa Timur (Jatim) Khofifah Indar Parawansa yang menyebutkan bahwa kelangkaan minyak goreng pasca ditetapkannya harga eceran tertinggi (HET) Rp14 ribu lantaran disebabkan keterlambatan pengiriman dari pihak distributor.
"Selain karena tingginya minat masyarakat untuk mendapatkan minyak goreng HET, juga karena terlambatnya pengiriman barang oleh distributor," terang Khofifah saat di Gresik beberapa hari lalu.
Baca Juga: Sinergi Bank BPR Jatim untuk Kemajuan Jawa Timur
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Toga Sitanggang mengatakan, kelangkaan minyak goreng di beberapa wilayah termasuk Jatim bukan karena bahan baku. Akan tetapi, dikarenakan kebijakan baru oleh pemerintah sehingga semua pelaku industri minyak goreng dari hulu ke hilir butuh waktu untuk menyesuaikan dengan kebijakan baru tersebut.
"Bukan dari distributor juga bukan dari kelangkaan bahan bakunya. Pasalnya, saat ini produksi minyak kelapa sawit mentah atau disebut Crude Palm Oil (CPO) diperkirakan tahun ini ada kenaikan walaupun tahun sebelumnya alami penurunan. Sementara konsumsi CPO dalam negeri baru mencapai 36 persen," terang Toga Sitanggang dalam acara Seminar Nasional Webinar bertajuk "Peran Pemerintah dan Dunia Usaha Dalam Stabilisasi Harga Minyak Goreng" yang digelar oleh PWI Jatim di Surabaya kemarin.
Dengan kebijakan itu kata Toga Sitanggang, tentunya bikin bingung para produsen minyak goreng karena ada perubahan kebijakan. Jika ada perubahan tentunya, para pelaku industri minyak goreng membutuhkan waktu untuk menyesuaikan sistem dengan kebijakan yang telah diubah.
Toga Sitanggang menyebutkan, pihaknya jangan di jadikan kambing hitam soal kelangkaan minyak goreng selama ini. Bisa jadi kelangkaan minyak goreng tersebut bisa dilakukan oleh oknum penimbun atau mafia minyak goreng sehingga masyarakat manjdi panik.
"Banyak tuduhan pada kami soal masalah minyak goreng ini. Bahkan, ada tuduhan kami ekspor minyak goreng ini. Ini tidak benar," tegas Toga Sitanggang.
Ia menyakni, permasalahan ini akan selesai selama pemerintah yang memberikan kebijakan duduk bersama agar bisa selaras nantinya.
Sementara itu Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga mengungkapkan, tingginya harga minyak goreng dikarenakan kebutuhan minyak nabati alami peningkatan cukup tinggi. Hal ini, dikarenakan pemulihan ekonomi.
Sahat mengakui masalah tersebut memang perlu intervensi dari pemerintah. Pemerintah harus mengawasi secara ketat agar tidak ada pihaknya yang mengambil untung seenaknya tanpa mempedulikan kebutuhan rakyat.
Selain itu pula, dia menegaskan, untuk mencoba mengubah kontrak ekspor pun bakal lebih susah. Menurutnya, kebijakan DMO (Domectic Market Obligation) 20 persen bakal susah didapat untuk perusahaan yang memang sejak awal beorientasi ekspor.
’’Kalau ingin masalah ini selasai, pemerintah tinggal komunikasi dengan perusahaan kelapa sawit yang memproduksi minyak goreng domestik. Suruh mereka gelontorkan minyak dengan HET dengan sistem subsidi,’’ singkat Sahat.
Disisi lain, Pengamat Ekonomi Universitas Airlangga, Imron Mawardi mengatakan, bahwa sistem di industri kelapa sawit Indonesia saat ini yang menjadi pertanyaan. Salah satunya, adalah harga bahan baku CPO yang dicantumkan dalam ongkos produksi minyak goreng domestik dihitung berdasarkan harga pasar global. Namun, belum jelas sebenarnya berapakah jumlah ongkos produksi perkebunan kelapa sawit.
Imron mengakui, dirinya mengetahui apakah harga CPO senilai 9.300 yang ditetapkan pemerintah bakal menghilangkan margin petani.
Pria ini juga mengatakan, bahwa kasus kelangkaan minyak goreng harusnya tak sama seperti kasus komoditas lainnya yang pernah terjadi seperti, gula, kedelai, atau garam
’’Selama implementasi dan pengawasan distribusi benar. Saya rasa masalah ini tak akan bertahan lama kok,’’ pungkas Imron.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Mochamad Ali Topan
Editor: Alfi Dinilhaq