Booming harga minyak sawit saat ini memang membawa berkah bagi pelaku industri dan petani. Namun di sisi lain, harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang terlalu tinggi juga dapat menjadi racun bagi industri sawit.
Melansir laman Majalah Sawit Indonesia pada Kamis (17/2/2022), Presiden Direktur PT Astra Agro Lestari Tbk, Santosa mengatakan, dengan kondisi ini, image minyak sawit tidak lagi menjadikannya sebagai minyak nabati murah. Lantaran, gap harga antara minyak sawit dengan minyak nabati lain terutama kedelai akan makin dekat.
Baca Juga: CPOPC Resmi Luncurkan Prinsip Kerangka Kerja Global Sawit Berkelanjutan
Sebagai perbandingan, selisih harga minyak sawit dengan minyak kedelai mencapai US$200/ton pada satu dekade lalu. Namun kini, selisih harga antara kedua minyak nabati tersebut berkisar US$90-US$130/ton.
Dalam sumber yang sama, Direktur Eksekutif GIMNI, Sahat Sinaga menegaskan, harga CPO yang terlalu tinggi justru dapat merugikan perusahaan dan petani. Pertama, aspek produktivitas. Dikatakan Sahat, tingginya harga menyebabkan pelaku usaha perkebunan cepat berpuas diri dan tidak mau berbenah mendongkrak produktivitasnya.
"Dengan harga tinggi, produktivitas tanaman hanya mencapai 9 ton TBS/ha/thn. Perusahaan maupun petani sudah merasa puas karena harga TBS di level Rp3.800/kg. Akibatnya, mereka enggan meningkatkan produktivitas lebih tinggi," kata Sahat, dilansir laman Majalah Sawit Indonesia pada Kamis (17/2/2022).
Kedua, kehadiran kompetitor baru. Sahat berpijak kepada histori komoditas minyak nabati yang menunjukkan apabila margin produk tersebut tinggi, berarti inviting competitor tengah membuat produk sejenis. Menurut Sahat, dengan kondisi harga sawit tinggi saat ini, mulai muncul inovasi yang dikembangkan peneliti untuk membuat Synthetic Palm Oil.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Puri Mei Setyaningrum