Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Banyak yang Beri Kritik Keras, Airlangga Dinilai Cuma Beri Harapan Palsu soal Manfaat JHT

Banyak yang Beri Kritik Keras, Airlangga Dinilai Cuma Beri Harapan Palsu soal Manfaat JHT Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan paparan saat Refleksi Capaian 2021 dan Outlook Ekonomi 2022 di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Kamis (30/12/2021). Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun 2022 sebesar 5,2 persen, dimana target tersebut bergantung pada penanganan COVID-19 (program PEN) serta berbagai faktor lainnya. | Kredit Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Warta Ekonomi, Jakarta -

Presiden DPP Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Mirah Sumirah, menyatakan, tiga manfaat pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) pada usia pensiun (56 tahun), yang disampaikan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, tidak beralasan.

"Itu justru mengaburkan substansi persoalan, dan memberikan harapan-harapan semu karena masih abu-abu, belum kelihatan, dan 'pemanis'," ucapnya saat dihubungi di Jakarta, Senin (21/2). 

Airlangga sebelumnya mengklaim, ada tiga kelebihan pencairan JHT saat pekerja memasuki usia pensiun atau 56 tahun. Pertama, akumulasi iuran dan pengembangan yang bakal didapatkan nilainya lebih besar. 

Kemudian, perlindungan kepada pekerja/buruh terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sebelum usia 56 tahun takkan diabaikan pemerintah. Terakhir, dapat mencairkan sebagian dana dari akumulasi iuran dan pengembangan sebelum pensiun. 

Sumirah menjelaskan, para pekerja tidak membutuhkan hasil pengembangan dana kepesertaan pada BPJS Ketenagakerjaan. Sebab, uang yang didapat dari JHT saat di-PHK digunakan untuk memenuhi kebutuhan harian. 

"Kita enggak butuh [hasil dana] pengembangan, kan, lapar di depan mata. Kita enggak muluk-muluk, [uang JHT] untuk bayar listrik, makan, anak sekolah. Kalau sudah di-PHK, kita enggak dapat apa-apa, apalagi dari pemerintah," bebernya. 

Menyusul terbitnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022, yang mengatur soal pencairan JHT saat usia 56 tahun, pemerintah pun meyiapkan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Diklaim dapat dimanfaatkan para pekerja yang terkena PHK.

Bagi Sumirah, program tersebut tidak ada hubungannya dengan JHT. Alasannya, sumber dana JHT berasal dari 2% gaji pekerja yang dipotong setiap bulannya. 

"Kalau JKP kan program pemerintah. Itu, kan, [ada karena regulasi] turunan Undang-Undang Cipta Kerja, PP (Peraturan Pemerintah) 37/2021," jelasnya.

"Uang dana JHT adalah uang buruh/pekerja, tidak ada satu sen pun uang pemerintah di sana, jadi tidak boleh ada pengaturan-pengaturan dalam bentuk 'penahanan'. Kalau mereka di tengah jalan di-PHK sebelum usia pensiun, siapa yang menghidupi mereka selanjutnya?" imbuh dia.

Apalagi, ungkap Sumirah, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan UU Ciptaker inskonstitusional bersyarat saat menguji formil beleid tersebut. Pemerintah pun diminta tidak menerbitkan peraturan turunannya, terlebih mengatura hal-hal yang berdampak luas.

"Jadi, pakai logika, akal sehat saja, orang awam sekalipun dapat melihat, kalau PP 37/2021 itu seharusnya tidak terbit karena berdampak luas, melanggar putusan MK," tegasnya.

Selain itu, tambah Sumirah terlalu banyak persyaratan agar para pekerja dapat menerima manfaat JKP. Para buruh harus terdaftar pada empat program BPJS Ketenagakerjaan dan sebelumnya sudah aktif minimal satu tahun sebagai peserta, misalnya.

"Dana JKP juga belum ketahuan bentuknya, kan, baru launching besok (Selasa, 22/2)," katanya.

Dicontohkannya dengan sekitar 500-an buruh yang telah di-PHK sejak 2020 dan sampai sekarang belum mendapatkan hak pesangonnya, yang ditarik mencapai Rp1 miliar secara kumulatif.

"Nasib mereka saja terkatung-katung, mereka sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Makanya, kami terus perjuangkan haknya sampai sekarang," tuturnya. 

Oleh karena itu, Aspek Indonesia meminta pemerintah bersikap arif dan bijaksana dalam merespons tuntutan publik, yang meminta JHT tetap bisa dicairkan tanpa menunggu usia 56 tahun.

Apabila Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) tetap bersikukuh memberlakukannya, Aspek Indonesia bersama sejumlah serikat pekerja/buruh berencana kembali mengadakan aksi massa, tepatnya pascawaktu dua pekan waktu yang diberikan tidak dipenuhi.

"Awal Maret akan aksi besar lagi dan secara total. Mungkin sampai menginap sgala. Ini pembahasan dari kawan-kawan yang masih koordinasi ke arah sana," ucapnya.

Tuntutan serupa sebelumnya dilayangkan Anggota Komisi IX DPR, Irma Suryani Chaniago. Pangkalnya, pandemi Covid-19 yang berkepanjangan memicu gelombang PHK massal.

"Meskipun pemerintah telah memberikan tunjangan kehilangan pekerjaan, setelah kami hitung, ternyata JKP belum dapat menjawab kebutuhan buruh setelah terjadi PHK," urainya.

Karenanya, sekalipun sepakat dengan kebijakan tersebut, Irma mendesak pemerintah mencabut semua aturan soal JHT dapat dicairkan saat pekerja berusia 56 tahun.

"Saya mendukung penuh judicial review terhadap UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) dan JHT tetap dapat diambil kapan pun buruh membutuhkan," tutup politikus Partai NasDem ini.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: