Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Analogi Menag Yaqut Menggelegar Singgung Pengeras Suara, Pengamat: Tidak Pantas Disampaikan

Analogi Menag Yaqut Menggelegar Singgung Pengeras Suara, Pengamat: Tidak Pantas Disampaikan Kredit Foto: Twitter/Yaqut Cholil Qoumas
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pengamat Komunikasi dan Politik Jamiluddin Ritonga ikut buka suara menyoroti surat edaran (SE) Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.

Apalagi, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas membandingkan penggunaan toa masjid dengan gonggongan anjing.

Menurut Jamiluddin Ritonga, pengaturan toa masjid yang disampaikan Menag Yaqut menimbulkan kontroversial di tengah masyarakat.

"Pernyataan tersebut tentu tak pantas disampaikan seorang menteri," ujar Jamiluddin Ritonga dilansir GenPI.co, Kamis (24/2).

Jamiluddin Ritonga menilai, sebagai pejabat publik, seharusnya bijak memilih diksi yang tidak menimbulkan multitafsir.

Baca Juga: Semua Sedih! Sebut Nama Jokowi, Giring Kasih Kabar Mengejutkan: Saya Haji Giring Ganesha Mundur…

Menurut akademisi dari Universitas Esa Unggul itu, menganalogikan toa masjid dengan gonggongan anjing memang akan menimbulkan multitafsir.

"Di satu sisi, masjid tempat yang suci bagi umat Islam, sementara di sisi lain anjing dinilai binatang penuh najis," tuturnya.

Akibatnya, sebagian umat Islam bisa saja menilai pernyataan itu sebagai penghinaan.

"Jadi, kontroversi itu terjadi karena dua hal," kata Jamiluddin Ritonga.

Pertama, Menteri Agama seperti kurang kerjaan sehingga harus mengatur penggunaan toa masjid.

Kedua, menganalogikan toa masjid dengan gonggongan anjing bisa membuka persepsi yang beragam.

Baca Juga: Ebenezer Jadi Saksi Meringankan Munarman, Loyalis Jokowi Nggak Suka: Tidak Perlu Dibela!

"Ragam persepsi inilah yang menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat," jelasnya.

Oleh karena itu, sebaiknya seorang menteri tidak perlu mengatur hal-hal yang terlalu sensitif, apalagi berkaitan dengan agama."Sebagai pejabat publik juga harus selektif memilih diksi agar tidak menimbulkan jarak persepsi yang lebar," imbuh Jamiluddin Ritonga.(*)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Bayu Muhardianto

Bagikan Artikel: