Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tolak Pemilu 2024 Diundur, Pengamat Sebut yang Tak Setuju Silakan Mundur

Tolak Pemilu 2024 Diundur, Pengamat Sebut yang Tak Setuju Silakan Mundur Bersama istri Iriana, Capres petahana Joko Widodo (Jokowi) nyoblos di TPS 008 Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (17/4/2019) | Kredit Foto: Sufri Yuliardi

Selain itu, Ray menyebut, mengembalikan kewenangan MPR untuk menetapkan perpanjangan masa jabatan presiden karena faktor alam menimbulkan konsekuensi tentang status presiden.

"Apakah dalam situasi seperti itu presiden masih merupakan presiden hasil pemilu atau presiden karena ketetapan MPR? Dalam bahasa lain, apakah presiden yang ditetapkan oleh MPR perpanjangan masa jabatannya  bertanggung jawab kepada rakyat yang memilihnya untuk lima tahun atau kepada MPR yang menetapkan perpanjangan masa jabatannya. Pertanyaannya konstitusional lainnya akan dapat dijajarkan sesudahnya," ungkap Ray.

Argumen ketiga yakni terkait hal teknis, jika yang dimundurkan jadwal pilpres/pileg, bagaimana dengan pilkada serentak yang dijadwalkan November di tahun yang sama?

"Akankah tetap dilaksanakan atau juga ikut dimundurkan. Jika tetap dilaksanakan maka argumen bencana alam dan dana dengan sendirinya terbantahkan."

Ray menilai, penundaan pemilu juga melanggar putusan Mahkamah Konstitusi tentang keharusan keserentakan pelaksanaan pemilu/pilkada. 

Jika dimundurkan, Ray mengemukakan, berarti akan banyak sekali daerah yang dipastikan akan dipimpin oleh penjabat daerah.

Bahkan ia menyebut, hampir seluruh daerah di Indonesia akan dipimpin oleh penjabat dalam setidaknya dua tahun dan bahkan ada yang sampai empat tahun.

"Sulit membayangkan hampir seluruh daerah di Indonesia dipimpin oleh seorang penjabat daerah. Selain mencari pejabat yang harus mengisi jabatan itu, daerah yang dipimpin oleh penjabat selama empat tahun jelas akan sulit berkembang. DKI Jakarta misalnya akan dipimpin oleh penjabat selama empat tahun itu tentu sangat tidak rasional," tuturnya.

Kemudian, argumen keempat yakni alasan faktual. Ray menjelaskan, faktor Covid-19 dan besarnya dana yang akan dikeluarkan oleh negara dalam hajatan pemilu terbantahkan oleh kejadian faktual.

Lantaran pada tahun 2020, pemerintah melaksanakan pilkada serentak di 270 daerah di Indonesia (lebih dari setengah jumlah daerah di Indonesia) justru saat Pandemi Covid 19 sedang menuju puncaknya dengan varian yang cukup ganas yaitu varian alpha. 

Saat yang sama, perekonomian Indonesia juga mengalami stagnasi jika tidak disebut kemunduran.

"Pilkada justru dinyatakan salah satu jawaban atas dua hal itu. Memastikan daerah mendapatkan kepala daerah defenitif untuk memastikan pejabat politik daerah, dan sekaligus menggairahkan ekonomi," papar Ray.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Adrial Akbar

Bagikan Artikel: