Harga minyak dunia sepanjang 2021 kemarin terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Jika dibandingkan dengan tahun 2020, sepajang 2021 kenaikan minyak dunia mencapai 69.5%. Begitu juga memasuki awal tahun 2022 ini. Harga minyak dunia terus mengalami peningkatkan yang cukup signifikan.
Kenaikan ini disebabkan pertumbuhan ekonomi global pasca-pandemi Covid-19 kemarin, ditambah masih ketatnya penambahan produksi oleh kartel minyak OPEC+. Hal ini bisa menimbulkan ketidakpastian ekonomi secara global. Demikian disampaikan Mamit Setiawan, Direktur Executive Energy Watch dalam keterangan tertulisnya Kamis,(02/03/2022). Baca Juga: Meski Tren Harga Minyak Dunia Terus Meningkat, Pertamina Pastikan Pasokan Energi Indonesia Terpenuhi
"Dengan mulai tumbuhnya perekonomian global, maka hal ini akan berpengaruh terhadap suplai dan demand minyak dunia. Sepanjang 2020, konsumsi minyak dunia hanya 88.5 juta barrel perhari, sedangkan di tahun 2021 meningkat terjadi peningkatan yang signifikan ke 96.2 juta perhari. Tahun 2022 ini, konsumsi minyak dunia di harapkan mencapai 99.53 juta BOPD menyamai konsumsi di tahun 2019 sebelum pandemi terjadi. Tinggal bagaimana suplainya, ditengah OPEC+ yang masih menahan untuk memompa lebih banyak lagi minyak mereka. Apalagi, Rusia sebagai anggota OPEC+ saat ini sedang berkonflik. Hal ini bisa menimbulkan ketidakpastian pasokan dan pertumbuhan ekonomi secara global," urai Mamit.
Mamit menyampaikan, dengan kenaikan harga minyak dunia saat ini maka bisa dipastikan ongkos produksi produk energi seperti BBM dan LPG akan mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Hal ini akan diikuti dengan kenaikan produk-produk lain karena bbm dan lpg sebagai sumber energi primer untuk produk lain.
"Tidak bisa dipungkiri, kita harus mewaspadai efek domino dari kenaikan harga minyak dunia saat ini. Tidak melulu bicara BBM dan LPG, tetapi juga produk turunan yang di hasilkan karena ada peningkatan ongkos produksi. Adanya kenaikan ini bisa menimbulkan inflasi ke depannya. Kita mesti mewasdai ini," jelas Mamit.
Dia juga mengingatkan, bahwa Indonesia sebagai net importir untuk minyak mentah maupun produk serta LPG dimana produksi saat ini hanya berkisar di angka 670 ribu BOPD sedangkan konsumsi mencapai 1,3 juta BOPD dan import LPG sebanyak 65% dari konsumsi nasional akan meningkatkan defisit neraca perdagangan.
"Semakin tinggi terjadinya defisit neraca perdagangan, bisa menyebabkan terdepresiasi nya nilai mata uang rupiah terhadap dolar dan potensi kenaikan inflasi dibandingkan tahun 2021.
Selain inflasi yang akan meningkat kenaikan harga minyak dunia akan berdampak terhadap kondisi keuangan negara. Beban untuk subsidi energi baik itu BBM, LPG dan listrik akan mengalami kenaikan yang tinggi, disisi lain penerimaan Negara yang didapatkan dari sektor hulu migas tidak sebanding dengan beban subsisi yang harus ditanggung pemerintah," jelas Mamit kembali
Selain itu, pasokan untuk BBM dan LPG bisa mengalami gangguan ditengah permintaan global yang meningkat dan supply yang mulai menipis.
"Jadi kita harus bersiap menghadapi segala kemnungkinan yang terjadi akibat ketidakpastian global saat ini,"pungkas Mamit.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Lestari Ningsih
Tag Terkait: