Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Terhambat Biaya Pengobatan, Bagaimana Masa Depan Penyintas Kanker di Indonesia

Terhambat Biaya Pengobatan, Bagaimana Masa Depan   Penyintas Kanker di Indonesia Kredit Foto: Pexels/Miguel Á. Padriñán
Warta Ekonomi, Jakarta -

Masih dalam rangka memperingati Hari Kanker Sedunia 2022, Ikatan Ekonomi Kesehatan Indonesia (IEKI) atau dikenal juga dengan INAHEA (Indonesian Health Economic Association) menyelenggarakan kegiatan dialog dengan para pemangku kepentingan mengusung tema ”Masa Depan Penyintas Kanker di Indonesia: Inovasi pembiayaan kesehatan untuk keberlanjutan layanan pengobatan kanker”.

Melalui kegiatan ini IEKI bersama dengan para pemangku kepentingan membahas tantangan yang dihadapi dalam penanganan kanker saat ini, terutama dengan adanya keterbatasan akses terhadap pengobatan inovatif dan bertujuan untuk memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk mengimplementasikan berbagai inovasi dalam pembiayaan kesehatan agar layanan pengobatan kanker, terutama dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dapat terus mengikuti perkembangan teknologi kesehatan yang pada akhirnya akan memberikan harapan hidup yang lebih baik bagi para penyintas kanker di Indonesia.

Kanker adalah penyakit tidak menular dengan angka insiden dan kematian yang tinggi dan terus meningkat setiap tahunnya sehingga perlu menjadi prioritas dan fokus semua pihak.

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah berhasil membuka akses bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia, termasuk penyintas kanker, untuk mendapatkan penanganan dan perawatan atas kondisi kesehatan yang dialami. 

Saat ini, perkembangan teknologi pengobatan kanker terus memberikan peningkatan harapan dan kualitas hidup bagi penyintas kanker, namun di sisi lain Pemerintah mengalami keterbatasan pembiayaan untuk menambahkan berbagai pengobatan inovatif ke dalam cakupan JKN. 

Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh The Swedish Institute for Health Economics (IHE) di tahun 2021, ditemukan bahwa negara dengan alokasi pembiayaan kanker yang lebih tinggi menunjukkan keberhasilan penanganan kanker yang lebih baik dibandingkan negara yang memiliki alokasi pembiayaan kanker lebih rendah.

Oleh karena itu, pengimplementasian pembiayaan kesehatan yang inovatif dapat menjadi salah satu solusi pendanaan kesehatan. Hal ini tentu memerlukan kolaborasi dengan berbagai pihak sehingga dapat membantu pemerintah untuk memperluas cakupan pengobatan untuk seluruh masyarakat.

Dalam diskusi Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Sabtu (5/3/2020)mengatakan, saat ini total belanja kesehatan Indonesia masih di bawah rekomendasi WHO, yaitu 5% dari GDP (PDB) atau minimal 15% dari total APBN, dan lebih rendah dibandingkan beberapa negara lain di Asia bahkan Asia Tenggara. 

Selain itu dalam beberapa tahun terakhir, BPJS Kesehatan sebagai pengelola program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mengalami defisit sejak beberapa tahun terakhir yang mendorong Pemerintah untuk mengurangi dan membatasi beberapa manfaat dalam cakupan JKN.

“Pemerintah seharusnya tidak hanya fokus mengurangi beban biaya dengan membatasi manfaat layanan pengobatan dalam program JKN, tapi perlu segera mencari ide-ide inovatif untuk meningkatkan alokasi pembiayaan sehingga pasien-pasien, terutama penyintas kanker, tetap dapat memperoleh layanan terapi kanker yang paling optimal dan memberikan harapan hidupl ima tahun lebih panjang serta kualitas hidup yang lebih baik,” jelas Prof. Hasbullah.

Dr. Diah Ayu Puspandari, Apt. M.B.A. M.Kes, Ketua Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajement Asuransi Kesehatan (Pusat KPMAK) UGM; menjelaskan, untuk mengatasai masalah keterbatasan biaya kesehatan, Pemerintah perlu segera mencari solusi strategis, salah satunya dengan mengoptimalkan sumber-sumber dana yang ada untuk dialokasikan ke sektor kesehatan.

“Sebenarnya, Pemerintah sudah mulai menerapkan hal ini dengan mengalokasikan sebagian dari pajak rokok dan cukai tembakau yang diterima Pemerintah Daerah untuk sektor kesehatan. Namun, di tahun 2021, alokasi dana untuk sektor kesehatan tersebut turun dari 50% menjadi 25%. Kami berharap Pemerintah Pusat dapat merealokasi kembali dana untuk sektor kesehatan menjadi 50% atau memberikan fleksibiltas penggunaan dana pajak rokok dan cukai tembakau untuk pengembangan sektor kesehatan di tingkat daerah. Kami juga merekomendasikan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menyusun panduan teknis inovasi penggunaan pajak rokok dan cukai tembakau di sektor kesehatan, misal untuk optimalisasi pembelanjaan obat dan alat kesehatan termasuk obat inovatif kanker yang pada akhirnya akan mendatangkan manfaat bagi masyarakat yang kita layani.”

drg. Putih Sari, Anggota Komisi IX DPR RI menambahkan, “Pemerintah perlu meninjau kembali tujuan awal Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yaitu untuk mencapai cakupan kesehatan semesta. Hal ini bukan hanya berbicara tentang cakupan jumlah kepesertaan, tapi juga cakupan layanan yang diberikan yaitu dapat menjamin akses ke layanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang sama pentingnya, berkualitas dan efektif tanpa menimbulkan beban biaya individu. Kami mendorong Kementerian Kesehatan RI dan seluruh pihak terkait untuk mempermudah akses obat inovatif kanker dalam program JKN, terutama untuk kanker paru yang paling mematikan. Kami juga mendorong Pemerintah untuk menerapkan inovasi pembiayaan kesehatan sehingga perluasan terhadap akses pengobatan inovatif kanker tidak terbentur masalah keterbatasan biaya. Salah satu inovasi pembiayaan yang dapat dijajaki dalam waktu dekat adalah dengan membuka ruang kolaborasi yang lebih luas dengan berbagai pihak, antara lain produsen obat dan asuransi swasta. Misal dengan menyediakan beberapa skema harga dalam program JKN seperti yang sebelumnya pernah diterapkan untuk obat kanker melalui sistem risk sharing atau mekanisme inovatif lainnya.”

Ketua CISC Aryanthi Baramuli, mengatakan bahwa banyaknya pasien kanker berusia produktif juga menjadi ‘alarm’ kita bersama terkait pentingnya kemudahan akses pengobatan sehingga memberikan kesempatan bagi pasien untuk menjalani hidup yang lebih berkualitas.

“Adanya Program JKN memberikan jalan bagi kami untuk berjuang melawan kanker walalupun masih ada beberapa keterbatasan yang kami temui. Bagi kami para pasien, dukungan dari seluruh pihak untuk peningkatan layanan kesehatan dan pengobatan kanker untuk menjadi lebih baik secara kualitas tentu akan sangat bermakna Oleh karenanya,kami sangat mengapresiasi kegiatan diskusi dan rencana penyusunan rekomendasi yang diinisiasi IEKI bersama seluruh panelis yang berpartisipasi dalam acara ini. Semoga rekomendasi terkait inovasi pembiayaan kesehatan ini dapat membawa dampak besar bagi para pasien dan keluarganya, terutama untuk menurunkan angka kematian dan meningkatkan kualitas hidup para penyintas kanker,” ujarnya.

IEKI/ INAHEA akan merampungkan hasil diskusi acara ini untuk dijadikan sebuah rekomendasi tertulis resmi yang akan disampaikan kepada pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk membantu memberikan solusi yang dapat dijajaki oleh Pemerintah dalam hal peningkatan layanan kesehatan dan pengobatan pasien kanker di Indonesia.

Rekomendasi tersebut juga akan dapat diakses oleh publik sebagai bentuk dukungan untuk para pasien kanker dan keluarga mereka.

Acara ini diawali dengan pembukaan oleh Direktur Utama BPJS Kesehatan Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D dan dimoderatori oleh Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH, sebagai ketua Ikatan Ekonom Kesehatan Indonesia (IEKI) atau yang disebut juga sebagai Indonesian Health Economist Association (INAHEA).

Pembicara terkait yang hadir dalam acara ini ialah Dr. dr. Tubagus Djumhana, SpPD-KHOM, Ketua Perhimpunan Hematologi Onkologi Medik Ilmu Penyakit Dalam Indonesia (PERHOMPEDIN); dr. Sita Laksmi Andarini, SpP(K), PhD , Wakil Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mewakili Ketua PDPI; Dr. Diah Ayu Puspandari, Apt. M.B.A. M.Kes, Ketua Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (Pusat KPMAK) UGM; Prof. Dr. dr. Budi Wiweko, Sp.OG(K), MPH, Ketua Komite Penilaian Teknologi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI; drg. Putih Sari, Anggota Komisi IX DPR RI; Aryanthi Baramuli, Ketua Cancer Information and Support Center (CISC); dr.Lily Kresnowati, M.Kes, Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan; Dr.Dra.Lucia Rizka Andalusia, Apt.M.Pharm, MARS, Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI; Yuli Farianti, M.Epid, Kepala Pusat Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI; Prof Nils Wilking, The Swedish Institute for Health Economics; dan MSD Indonesia sebagai Perwakilan Industri Farmasi.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: