Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Perang Rusia-Ukraina 'Ganggu' Pemulihan Ekonomi, APBN Harus Diselamatkan

Perang Rusia-Ukraina 'Ganggu' Pemulihan Ekonomi, APBN Harus Diselamatkan Kredit Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Warta Ekonomi, Jakarta -

Universitas Paramadina menggelar diskusi di Kanal Twitter Space Didik J Rachbini tentang "Beban Fiskal dan Perang Rusia Ukraina", Senin (7/3/2022). Hadir sebagai pembicara Eisha M Rachbini, Ph.D., ekonom INDEF; Dr Handi Risza, Wakil Rektor Universitas Paramadina; serta Dr Agus Herta, Peneliti INDEF/dosen Univ. Mercu Buana.

Dr Agus Herta menyebut Perang Rusia-Ukraina ini menjadi A Disrupted Global Recovery di tengah tingginya harapan masyarakat dunia terhadap pemulihan ekonomi yang terjadi pada tahun 2022. Dia menyebut, perang Rusia-Ukraina akan membawa dampak signifikan terhadap APBN tahun 2022.

Baca Juga: Antisipasi Dampak Perang Rusia-Ukraina, Akademisi: Dana PEN untuk IKN Rp127 T Harus Dievaluasi

"Beberapa asumsi makroekonomi yang dibuat ketika proses penyusunan APBN, meleset dan jauh dari target yang ditetapkan. Harga minyak dunia dalam asumsi APBN hanya ditetapkan sebesar US$63 per barel. Padahal, sampai dengan tanggal 7 Maret 2022, harga minyak Brent sudah ditransaksikan seharga US$128,76 per barel," terang Dr Agus Herta.

Hal menarik dari dampak perang ini, sebut Dr Agus, ada pertanda kuat bahwa dolar Amerika Serikat sudah tidak lagi menjadi safe haven asset bagi para pelaku ekonomi. Para pelaku ekonomi lebih memilih emas sebagai safe haven asset-nya. Hal ini terlihat dari harga emas yang sudah naik lebih dari 8,5 persen dalam satu bulan terakhir.

"Kenaikan harga migas dunia ini akan memberatkan APBN kita terutama berkaitan dengan besaran subsidi energi yang telah ditetapkan terutama subsidi LPG 3Kg. Di tengah naiknya harga gas dunia yang berimbas pada naiknya harga gas non-subsidi, banyak masyarakat yang akan beralih pada LPG 3 kg. Hal ini akan mengakibatkan subsidi LPG 3 kg membengkak," terangnya.

Poin lainnya, Dr Agus menyoroti jika volatilitas nilai tukar yang tidak terlalu liar sepertinya tidak akan terlalu memengaruhi nilai utang pemerintah. Namun, utang pemerintah akan mengalami tekanan seiring dengan makin beratnya beban pengeluaran pemerintah melalui subsidi dan pembangunan infrastruktur.

"Langkah realokasi dan refocussing anggaran dinilai tidak akan cukup di tengah masih tingginya pembiayaan untuk penanggulangan pandemi dan pemulihan ekonomi," tegasnya.

Sementara itu, Dr Eisha M Rachbini, menjelaskan bahwa perang Rusia dan Ukraina meningkatkan risiko krisis energi dan ancaman inflasi. Dia pun menjelaskan, jika kenaikan harga ke depan persisten dan sangat terasa terhadap daya beli masyarakat, subsidi berfungsi sebagai bantalan agar masyarakat tidak jatuh lebih dalam kemiskinan.

"Peran pemerintah memberikan bantalan/safe guard untuk masyarakat yang memang perlu dibantu (masyarakat kurang mampu) ketika shock terjadi (kenaikan harga). Artinya, subsidi pemerintah akan naik," tegasnya.

Asumsi dasar APBN 2022 adalah US$63, sekarang minyak dunia sudah mencapai US$122 per barel. Dengan target defisit APBN 4.85% (Tahun terakhir untuk defisit > 3% sesuai amanat UU 2/2020), alokasi anggaran untuk subsidi energi sekitar Rp134,02 triliun, yang terdiri dari subsidi jenis BBM tertentu dan LPG 3 kg sebesar Rp77,54 triliun dan subsidi listrik Rp56,47 miliar lainnya.

"Kenaikan harga minyak, akan berdampak pada pos anggaran negara, baik di sisi pendapatan dan pengeluaran. Indonesia merupakan net importir minyak mentah. Data SKK Migas: produksi minyak mentah di Indonesia mencapai 700.000 barel per hari (bph). Sementara, konsumsinya 1,4 juta bph hingga 1,5 juta bph sehingga defisit minyak 500.000 barel mengandalkan impor," jelas Dr Eisha.

Di sisi pengeluaran, akan memberikan tekanan pada APBN 2022. Kenaikan harga minyak mentah US$1 per barel, menaikkan anggaran subsidi elpiji sekitar Rp1.47 trilliun, subsidi minyak tanah Rp49 miliar, beban kompensasi BBM kepada Pertamina Rp2.65 triliun. Setiap kenaikan ICP sebesar US$1 per barel berdampak pada tambahan subsidi dan kompensasi listrik sebesar Rp295 miliar.

"Di sisi pendapatan negara, akan ada peningkatan pajak dan PNBP sebesar Rp0.8 triliun dan Rp2.2 triliun untuk kenaikan US$1 ICP, (ceteris paribus). Penerimaan beberapa BUMN akan menurun (PLN, KAI, Garuda). Namun, juga akan menambah beban subsidi dan kompensasi listrik (PLN)," lanjutnya.

Karena itu, dia menekankan, kemungkinan adanya tekanan defisit APBN, APBN perlu dikelola dengan tepat dan efisien dengan memprioritaskan pemulihan ekonomi, menjaga daya beli masyarakat, dan pertumbuhan ekonomi.

"Di sisi pasar keuangan ke depan, risiko masih uncertain. Dengan adanya risiko inflasi dan perlambatan pertumbuhan karena perang ini, mengubah stance kebijakan dari Bank Sentral di negara maju, seperti AS, EU. Dilematis kebijakan central bank bergantung pada apa yang terjadi dengan harga energi dan kondisi pasar keuangan," katanya.

"Bank Sentral Dunia, termasuk The Fed akan dilematis, yang tadinya mereka akan menaikkan suku bunga the Fed bertahap, tetapi karena pertumbuhan akan terancam, mereka tidak akan agressif. Uncertainty naik karena ekspektasi pelaku pasar yang kemarin sudah tidak berlaku lagi," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: