Energi Fosil Disebut Biayai Perang Putin, Maukah Negara Arab Bantu Stabilkan Harga Minyak Dunia?
Seruan boikot terhadap minyak Rusia menguat seiring eskalasi invasi di Ukraina. Dalam sebuah petisi yang dirilis pekan lalu, sebanyak 465 organisasi dari 50 negara mendesak pemerintah masing-masing untuk berhenti membeli minyak dan gas dari Rusia.
"Kecanduan energi fosil dunia ikut membiayai agresi perang oleh Vladimir Putin,” tulis gabungan organisasi yang antara lain mencakup Greenpeace, Extinction Rebellion dan Fridays for Future tersebut.
Baca Juga: NATO Terlalu Takut ke Rusia, Bantuan Jet Tempur ke Ukraina pun Batal
Pekan lalu, Institut Studi Energi di Universitas Oxford menempatkan Rusia di urutan kedua dalam daftar negara produsen minyak mentah terbesar di dunia dengan pangsa pasar 14 persen pada 2021 silam.
Sekitar 60 persen minyak Rusia dijual ke Eropa, sementara 35 persen lain diekspor ke Asia. Untuk itu, Eropa setiap hari mentrasfer 350 juta Euro atau sekitar Rp 5,5 triliun ke Rusia. Para pembuat petisi meyakini, embargo migas akan mampu memaksa Rusia menarik pasukannya dari Ukraina.
Kebergantungan yang tinggi terhadap minyak Rusia menjadi salah satu alasan negara barat belum memberlakukan embargo.
Kini, Eropa dan AS sibuk mencari sumber alternatif demi mencegah destabilisasi pada harga minyak dunia, jika Rusia tidak lagi bisa menawarkan minyak di pasar global.
Tanpa embargo pun, invasi Rusia di Ukraina sudah membuat harga minyak melejit. Pada Senin (7/3), harga minyak jenis Brent mencapai USD 138 per barrel. Brent adalah jenis minyak yang paling banyak diperdagangkan di dunia.
Menurut laporan Institut Oxford, analis memprediksi rata-rata harga minyak akan berkisar USD 116 per barrel tahun ini.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto