Pasca Kenaikan Cukai Selisih Tarif Harga Jomplang, Tapi Rokok Tetap Diburu dan Marak
Keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 12% pada 2022 diharapkan dapat menjadi instrumen pengendalian konsumsi tembakau.
Plt. Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Pande Putu Oka mengatakan kebijakan ini ditujukan demi mengendalikan konsumsi barang yang berdampak negatif dalam upaya meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Baca Juga: Kenaikan Cukai Rokok Turunkan Pendapatan Petani Tembakau dan Buruh Rokok
“Instrumen fiskal untuk pengendalian tembakau mencakup kenaikan tarif cukai serta simplifikasi struktur cukai dari 19 layer di tahun 2009 menjadi 8 layer di tahun 2022. Upaya ini juga dilengkapi dengan pengawasan harga di pasaran. Tentunya indikator yang bisa dilihat adalah penurunan prevalensi perokok terutama pada anak dan remaja sehingga kualitas SDM dan keberlangsungan program JKN ke depan dapat dijaga dengan baik,” ujarnya.
Upaya – upaya tersebut sejalan dengan arah kebijakan Kementerian Keuangan dalam PMK 77/2020 terkait reformasi fiskal. Kebijakan cukai yang telah diambil diharapkan dapat mengurangi konsumsi rokok di masyarakat. Dia berharap kebijakan CHT juga dapat mengantisipasi perkembangan produk-produk baru yang beredar.
“Karena kalangan muda banyak beradaptasi dari perkembangan tren rokok dan ini yang perlu kita antisipasi bersama,” katanya pada acara Webinar Indonesia Tobacco Control Strategic Roundtable 2022, Rabu (2/3/2022).
Secara terpisah, Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) Risky Kusuma Hartono menyoroti dinamika berkembangnya segmen rokok murah di pasaran. Dia mengatakan, kebijakan kenaikan cukai pada 2022 yang diharapkan bisa mengatrol harga rokok tidak cukup.
Pasalnya, selisih tarif CHT antar golongannya masih lebar, akibatnya semakin banyak perusahaan yang menggunakan peluang tersebut dan tetap bertahan di golongan yang lebih rendah. Hal ini memicu maraknya peredaran rokok murah sehingga masyarakat cenderung mudah beralih konsumsi ke rokok murah karena banyaknya pilihan.
Bertambah maraknya rokok murah berpeluang mengancam target pemerintah dalam menurunkan prevalensi perokok, khususnya perokok anak. Apalagi saat ini Indonesia merupakan negara dengan jumlah prevalensi perokok terbesar di Asia Tenggara.
Dalam simulasi cepat bisa dilihat, selisih harga jual eceran Sigaret Kretek Mesin (SKM) golongan tertinggi dengan golongan di bawahnya masih lebar. Sementara dengan selisih yang masih lebar tersebut, selain diproyeksi produksinya akan tetap marak, konsumenpun akan cenderung dimudahkan untuk membeli rokok yang lebih murah.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Alfi Dinilhaq
Tag Terkait: