Demi Lindungi Para PMI, KSP Inisiasi Pembentukan Kebijakan Cegah Keberangkatan Ilegal
Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Moeldoko, menginisiasi pembentukan kebijakan untuk menekan praktik penempatan pekerja migran Indonesia (PMI) secara non prosedural. Hal itu dilakukan dalam rapat koordinasi lintas kementerian/lembaga (K/L).
Kebijakan itu didasari banyaknya PMI yang bekerja di luar negeri namun tidak menggunakan jalur resmi. Dampaknya, pemerintah sulit memberikan perlindungan yang maksimal.
Baca Juga: Elektabilitas Jokowi Masih Tinggi, Bisa Menang Pilpres 2024 Bila Diizinkan 3 Periode
Salah satu rekomendasi yang diberikan adalah pemangkasan prosedur keberangkatan dan penempatan PMI.
“Perlu dilakukan penyederhanaan prosedur penempatan PMI sehingga bisa menekan praktek penempatan PMI non prosedural. Misalnya, tahap pelatihan harus fokus dengan skill yang dibutuhkan oleh pengguna saja. Jadi, kita harus pangkas prosedur yang panjang, rumit dan tidak perlu,” kata Moeldoko dalam rapat koordinasi perlindungan PMI, Senin (14/3), di Jakarta.
Tak hanya itu, KSP juga berikan rekomendassi perbaikan prosedur penerbitan paspor yang lebih ketat dan termonitor, agar tidak disalahgunakan.
“Upaya peningkatan perlindungan bagi PMI di luar negeri adalah salah satu perhatian utama Presiden. Oleh karenanya, KSP akan terus mengawal isu ini dari membenahi permasalahan dari hulunya hingga menyiapkan pendampingan PMI secara optimal,” kata Moeldoko.
Contohnya dapat dilihat dari negeri tetangga, Singapura. Negara itu menjadi tujuan utama PMI melalui jalur tidak resmi. Proses mendapatkan ijin bekerja di Singapura yang relatif mudah kerap disalahgunakan oleh para calo untuk merekrut dan menempatkan PMI secara tidak resmi.
Jumlah PMI di Singapura pun tidak diketahui secara persis. Pasalnya, praktek penempatan PMI jalur non prosedural sulit terdata. Itulah yang menjadi faktor pemerintah sulit dalam menjamin perlindungan PMI di Singapura.
Data dari KBRI Singapura menyebutkan, sebanyak 75 persen dari total PMI yang melarikan diri dari majikan dan ditangani oleh pihak KBRI adalah PMI non prosedural. Sebanyak 86 persen diantaranya mengaku tidak harmonis dengan majikan karena miskomunikasi yang disebabkan keterbatasan penguasaan bahasa. Dan juga adanya ekspektasi majikan yang terlalu tinggi kepada PMI dengan keterampilan kerja yang belum memadai.
PMI non prosedural juga rentan dengan tindak kekerasan dan eksploitasi dari majikan. Seperti data yang menunjukkan sebanyak 3 persen PMI non prosedural di Singapura tidak mendapatkan upah bekerja dari majikan.
Oleh karenanya, Moeldoko menginisiasi rapat koordinasi lanjutan bersama Kemlu, Dirjen Imigrasi Kemenkumham, Kemendagri, BP2MI, Kemenaker dan Kemenko polhukam untuk membahas upaya pemangkasan prosedur penempatan PMI lebih lanjut.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Adrial Akbar
Editor: Adrial Akbar
Tag Terkait: