Ketua Umum PBB Prof Yusril Ihza Mahendra akhirnya memilih ikut menggugat syarat nyapres 20 persen kursi DPR ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sikap pakar hukum tata negara dan pengacara kondang ini, berbalik 180 derajat. Yusril bisa juga dianggap menjilat ludah sendiri, karena di awal tahun lalu, Yusril menyatakan tak tertarik ajukan judicial review karena mengaku sudah kehabisan akal menghadapi MK.
Baca Juga: Kritik Menag Yaqut, Omongan Yusril Nggak Kira-kira: Daripada Urus Azan, Mendingan...
Seperti dimuat dalam situs resmi MK, Yusril melayangkan gugatan presidential threshold pada Jumat (25/3). Mantan Mensesneg ini tak sendirian mengajukan gugatan. Turut menjadi penggugat yaitu Sekjen PBB Afriansyah Noor, Ketua DPD La Nyalla Mattalitti dan tiga Wakil Ketua DPD yaitu Nono Sampono, Mahyudin, dan Sultan Bachtiar Najamudin.
Inti gugatan mereka sama dengan para penggugat presidential threshold sebelumnya. Mereka minta MK menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dalam Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Pemilu bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," demikian bunyi petitum pemohon Yusril Cs yang dimuat di laman resmi, MK.
Yusril mengetahui benar tak mudah memenangkan perkara ini. Dari 19 perkara serupa, hanya tiga putusan yang pokok perkaranya dipertimbangkan hakim MK. 16 perkara lainnya tidak dapat diterima karena dianggap tidak memiliki legal standing. Sehingga pokok perkaranya tidak dipertimbangkan.
Karena itu, dalam gugatan kali ini, Yusril menyiapkan jurus baru agar permohonannya dikabulkan MK. Apa itu? Mantan penulis pidato Presiden Soeharto ini menyatakan, dasar permohonannya berbeda dari tiga perkara yang dipertimbangkan MK sebelumnya. Sebagai ketum parpol, Yusril merasa punya dasar hukum kuat.
Kata dia, PBB adalah peserta Pemilu 2019. Dalam pemilu itu, partainya meraih 1,09 juta suara atau 0,79 persen. Meski tak memenuhi syarat perolehan suara di parlemen, partainya memiliki hak untuk mengajukan calon presiden. Hal ini sebagaimana mana tertuang dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. "Namun, hak tersebut kini dibatasi karena Pasal 222 Undang-Undang Pemilu," tulis Yusril, dalam gugatannya.
Dengan alasan itu, Yusril menilai Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan prinsip negara hukum agar presiden dipilih langsung oleh rakyat, dan pemilu yang periodik. "Karena itu, Pasal 222 harus dihapus untuk membuka ruang lebih lebar bagi arus perubahan sesuai dengan dinamika dan aspirasi masyarakat," ujarnya.
Pasal 222 UU Pemilu pada intinya mengatur, partai politik atau gabungan partai politik yang bisa mengusung capres-cawapres paling sedikit harus mendapat 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional hasil pemilu sebelumnya. Menurut Yusril, Pasal 222 ini lebih condong ke status quo yang tidak demokratis ketimbang kepada arus perubahan yang reformis.
Yusril menegaskan, Pasal 222 ini lebih menguntungkan parpol lama, terlebih dengan syarat hasil pemilu 5 tahun sebelumnya, dan akibatnya akan cenderung mempertahankan kekuasaan lama dan menutup peluang perubahan. "Padahal kekuasaan yang cenderung bertahan lama tetap akan cenderung koruptif, dan karenanya membutuhkan pembaharuan," cetusnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Alfi Dinilhaq