Kredit Foto: Djati Waluyo
Pasalnya, sanksi yang dikenakan pada Rusia saat ini membuat negara-negara di dunia berpikir tentang potensi mereka terkena sanksi serupa di masa depan yang berdampak terhadap ketersediaan pangan dan energi.
"Dalam konteks itu, tentu masing-asing negara akan melihat kepada kemampuan secara nasional untuk melakukan proses produksi pangan itu sendiri, baik di dalam negeri maupun di kawasan," ungkapnya.
Baca Juga: Barat Tidak Juga Mengembargo Minyak Rusia, Zelensky: Berapa Lagi Rakyat Ukraina Jadi Korban
Disisi lain, untuk memitigasi dan meminimalisir risiko dari pemblokiran Rusia dalam sistem pembayaran SWIFT, ia memperkirakan akan muncul sistem-sistem pembayaran internasional untuk mata uang di luar dolar dan euro.
"Ini akan melengkapi sistem pembayaran internasional berbasis dolar dan euro sehingga ada kemungkinan ke depan muncul langkah-langkah dedolarisasi," paparnya.
Lebih jauh, Mahendra mengatakan selain konflik Rusia-Ukraina, menurutnya saat ini juga muncul perang ekonomi dingin atau economic cold war antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang perlu diantisipasi.
Baca Juga: Kremlin: Negosiasi Rusia dengan Ukraina Berlanjut, tapi Kondisinya...
Karena jika tidak diantisiapsi, ke depan bisa merugikan Indonesia dengan politik internasional bebas aktif yang harus memilih berpihak pada salah satu negara. Namun demikian, perang dingin ekonomi tersebut juga bisa memberikan keuntungan bagi Indonesia.
"Di samping bisa bantu meredakan ketegangan dari economic cold war itu, dalam konteks pertumbuhan ekonomi dan juga kecepatan reformasi untuk iklim investasi, kita sebenarnya memiliki kesempatan cukup besar untuk me-laverage kondisi politik kita bagi kepentingan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Ayu Almas
Tag Terkait: