Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Lewat G20, Indonesia Dorong Langkah Konkret Energi Baru Terbarukan yang Berkeadilan

Lewat G20, Indonesia Dorong Langkah Konkret Energi Baru Terbarukan yang Berkeadilan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif | Kredit Foto: Djati Waluyo
Warta Ekonomi, Jakarta -

Indonesia yang menjadi presidensi G20 tahun ini memastikan akan mengupayakan dan mendorong langkah-langkah konkret Energi Baru Terbarukan (EBT) yang Berkeadilan dan bersih bagi dunia.

Demikian yang disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif dalam sambutannya pada webinar Warta Ekonomi bertajuk Menagih Kontribusi Swasta dan BUMN di Masa Transisi Menuju Zero Carbon Emission 2060 di Jakarta, baru-baru ini.

Arifin mengatakan, dalam Presidensi G20 ada tiga isu utama yang diangkat yaitu kesehatan global yang inklusif, transformasi ekonomi berbasis digital dan transisi menuju energi yang berkelanjutan. 

Pada forum transisi G20, tema yang diusung adalah memperkuat sistem energi global yang lebih bersih dan transisi yang berkeadilan dalam pemulihan berkelanjutan dengan tiga isu prioritas yang disesuaikan dgn perkembangan transisi energi dunia yaitu aksesibilitas energi, teknologi energi yang bersih, dan pendanaan. Baca Juga: Pemerintah akan Terus Mendorong Pemanfaatan EBT di Indonesia

"Forum transisi energi ini diharapkan akan menghasilkan langkah yang lebih konkret guna memperkuat sistem energi global yang berkelanjutan serta transisi yang berkeadilan dalam konteks pemulihan berkelanjutan," ujar Arifin.

Lebih lanjut katanya, Kementerian ESDM telah menyusun peta jalan transisi energi menuju carbon neutral (Net-Zero Emission) pada 2060 atau bisa lebih cepat bila didukung dunia internasional.

Dalam peta jalan itu ada strategi utama antara lain dr sisi supply adalah pengembangan EBT secara masif, pengurangan pemanfaatan energi fosil diantaranya tidak lagi menambah pembangkit fosil baru kecuali yang telah berkontrak atau sedang berkonstruksi. Kemudian retirement Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang dilakukan secara bertahap, dan melakukan konversi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) ke pembangkit EBT serta penerapan teknologi baru seperti Carbon Capture and Storage/ Carbon Capture, Utilization and Storage (CCS/ CCUS).

"Sedangkan di sisi demand melalui penerapan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai, pemakaian kompor induksi, penerapan manajemen energi dan standard kinerja energi yang minimum," tambah Arifin.

Pada kesempatan yang sama, Anggota Dewan Energi Nasional Satya Widya Yudha menuturkan, realisasi mitigasi emisi karbon yang dilakukan pemerintah mencapai 69,5 juta ton karbon di 2021. Hal itu dikontribusikan oleh konversi pembangkit energi ke energi bersih, konservasi energi dan sebagainya.

"Kalau kita lihat perkembangan pembangkit listrik EBT ada kemajuan, Sampai september 2021 ada 386 mega watt. Ini memang belum bisa mencapai yang kita targetkan karena capaian EBT saat ini 12% tapi untuk mencapai 23% di tahun 2025 tentunya sangat challenging," pungkasnya.

Dia mengingatkan, ada sejumlah tantangan dalam melakukan transisi energi bersih di Indonesia. Seperti potensi EBT yang cukup besar namun tersebar sehingga perlu suatu teknologi, keterbatasan jaringan, rendahnya ketertarikan perbankan di bidang EBT, potensi EBT tidak dapat ditransportasikan, kemampuan industri dalam negeri yang terbatas, ketidakpastian pasar, dan biaya investasi awal yang tinggi, serta bunga bank yang tinggi.

"Kebutuhan investasi untuk memenuhi target Nationally Determined Contribution (NDC) cukup besar sekitar Rp3500 triliun, makanya pak Jokowi mengatakan perlunya climate finance dari luar," tuturnya. Baca Juga: Sektor Migas Adalah yang Tersulit untuk Dikonversikan Menjadi EBT

Sebagaimana diketahui, dalam dokumen NDC, pemerintah menetapkan target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia yakni sebesar 29% tanpa syarat (dengan usaha sendiri) dan 41% bersyarat (dengan dukungan internasional yang memadai) pada tahun 2030.

Di sisi lain sejumlah perusahaan BUMN dan swasta juga telah menunjukkan perannya dalam membantu transisi energi menuju net zero emission di 2060.

EVP Perencanaan dan Enjiniring EBT PT PLN (persero) Cita Dewi mengungkapkan, guna mendukung transisi energi menuju net zero emission di 2060, pihaknya telah melakukan dekarbonisasi kelistrikan.

Dalam dekarbonisasi kelistrikan, PLN menyeimbangkan berbagai tujuan penting lainnya (antara lain: implikasi biaya, energy trilemma, kontribusi GDP, dil), dengan bantuan dari para pemangku kepentingan. Kemudian PLN melakukan Inventarisasi Gas Rumah Kaca sebagai baseline untuk mencapai target Carbon Neutral 

"PLN juga berupaya meningkatkan efisiensi pembangkit listrik dan berpartisipasi dalam uji coba sistem perdagangan emisi, dan PLN memanfaatkan Insentif dari carbon credit dan renewable energy certificate untuk mendukung pengembangan energi baru dan terbarukan," ucapnya.

Selain itu, PLN juga berkomitmen untuk menargetkan EBT sebanyak 23% pada tahun 2025 dan meninggalkan PLTU batu bara secara bertahap sampai dengan 2056.

Sementara itu, VP Pertamina Energy Institute Hery Haerudin membeberkan sejumlah peran Pertamina dalam mendukung transisi energi tersebut. Pertamina sendiri sudah melakukan kebijakan yang berkelanjutan menjadi perusahaan yang ramah lingkungan, bahkan terdapat komite berkelanjutan di dalam struktur perseroan.

"Kita memiliki strategi dan target jangka panjang di bidang sustainability yang berkaitan dengan ESG. Ini menunjukkan Pertamina komitmen dalam aspek keberlanjutan khususnya lingkungan," katanya.

Adapun salah satu peran Pertamina ialah meningkatkan bauran EBT menjadi 17% pada tahun 2030 dari sebelumnya hanya 3% di tahun 2021. Sementara investasi yang digelontorkan sebesar US$11 miliar untuk peningkatan gas dan EBT. Baca Juga: Pertamina Gandeng Mitsui Jajaki Komersialisasi CCUS Demi Turunkan Emisi CO2

"Pertamina berkomitmen untuk mengembangkan Energi Baru Terbarukan dengan 1 alokasi biaya kapital 14% dari keseluruhan anggaran jangka panjang. Nilai tersebut lebih agresif dengan perusahaan energi lain dangan rata-rata biaya kapital untuk EBT sebesar 4%," paparnya.

Senada, Direktur Utama PT Adaro Energy Tbk Dharma Djojonegoro mengatakan bahwa Adaro telah melakukan beberapa inisiatif dalam upaya dekarbonisasi.

"Salah satunya kita mendevelop solar PV untuk terminal batu bara kita. Kita juga lagi membangun mini hydro power plant di salah satu unit tambang kita untuk menggantikan genset yang selama ini kita pakai. Di luar itu kita juga sudah punya Nature Based Solution (NBS) forest management. Kita punya dua hutan di Kalimantan Tengah yang bisa membantu carbon offset," jelasnya.

Tak ketinggalan, Direktur Utama PT Indonesia Power M. Ahsin Sidqi, membeberkan sejumlah capaian perseroan dalam mendukung transisi energi menuju zero carbon emission di 2060.

Menurutnya, pemerintah RI telah berkomitmen mengembangkan bauran EBT 23% pada 2025 dan mengurangi gas rumah kaca 29% pada 2030 dan Indonesia Power ikut melaksanakanya. RUPTL terbaru 2021 juga lebih dominan pengembangan EBT sampai 56%, dan Indonesia Power juga ikut serta.

"PLN telah menyampaikan program karbon netral (CZN) pembangkit listrik pada 2060 tidak ada lagi fossil base. Indonesia Power sebagai anak perusahaan PLN telah membuat program Tranformasi dan Transisi Energi melalui Novasi dan Green Booster dengan program Dediselisasi semua wilayah dengan berbasis energi lokal, cofiring Subsitusi Batubara dengan biomass," pungkasnya.

"Kemudian, PLN juga telah menjual listrik pembangkit PT Indonesia Power hijau bersertifikat kepada perusahaan-perusahaan yang membutuhkan Green Label dan Green life style," tambahnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman

Bagikan Artikel: