Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Soal Isu G20, CASE: Pendanaan Transisi Energi Lewat De-risking Kebijakan Harus Diprioritaskan!

Soal Isu G20, CASE: Pendanaan Transisi Energi Lewat De-risking Kebijakan Harus Diprioritaskan! Kredit Foto: Pertamina
Warta Ekonomi, Jakarta -

Clean, Affordable, and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) di Indonesia mengapresiasi pemerintah Indonesia, secara khusus yang telah menjadikan transisi energi sebagai salah satu isu prioritas dalam konferensi tingkat tinggi G20. Ini menunjukkan komitmen pemerintah Indonesia dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor energi sebagai upaya mitigasi perubahan iklim. Peran Indonesia sebagai tuan rumah G20 merupakan peluang untuk membangun kerja sama dan mencari dukungan dari negara-negara G20 dalam mencapai target Net Zero Emission/NZE pada tahun 2060 atau lebih awal. Energy Transition Working Group (ETWG), salah satu dari banyak kelompok kerja G20, yang memiliki fokus pada isu transisi energi, mengidentifikasi tiga masalah utama: aksesibilitas, optimalisasi teknologi, serta pendanaan.

Dalam mendukung proses transisi, CASE Indonesia mencoba mengidentifikasi dua jenis instrumen yang berfungsi sebagai alat yang relevan untuk mengatasi masalah pengembangan energi terbarukan, yaitu instrumen de-risking kebijakan, dan instrumen de-risking keuangan. Meskipun keduanya terbukti efektif di banyak negara, studi sintesa (synthesis study) “De-Risking Facilities For The Development Of Indonesia’s Renewable Power Sector” yang dilakukan CASE Indonesia pada tahun 2021 menunjukkan bahwa saat ini Indonesia perlu memprioritaskan instrumen de-risking kebijakan daripada instrumen de-risking keuangan.

Baca Juga: PLTS Kilang Dumai Beroperasi, Potensi Penurunan Emisi Capai 2.052 per Tahun

“Akses terhadap energi terbarukan saat ini masih rendah di masyarakat. PLTS Atap contohnya, dengan harga yang masih di atas Rp. 10 juta per kWpnya menyebabkan hanya masyarakat dengan penghasilan besar yang dapat memasangnya. Padahal, bila bicara tentang akses listrik, masyarakat di luar perkotaan yang belum tersuplai listrik PLN-lah atau yang suplai listriknya masih dalam Tier-1 atau Tier-2 sesuai dengan Multi-tier Framework (MTF) Bank Dunia, yang bisa mendapat manfaat besar dari PLTS Atap ini.” ucap Agus. P. Tampubolon, Project Manager CASE – IESR, dalam media briefing CASE: Akses, Teknologi, dan Pendanaan Transisi Energi.

Selain itu, pendanaan infrastruktur energi terbarukan merupakan faktor penting dalam mengakselerasi transisi energi di Indonesia. Hasil simulasi yang dilakukan pada tahun 2021 menunjukkan bahwa kebutuhan investasi pembangkit (CAPEX) pada tahun 2021 – 2060 adalah sekitar US$ 1.131 miliar (simulasi terus dilakukan dan data bisa berubah) guna mencapai target NZE Indonesia. Dirjen EBTKE menyampaikan informasi di tahun ini bahwa Indonesia membutuhkan total investasi sebesar US$ 1.177miliar untuk membangun kapasitas terpasang sebesar 587 GW dari energi terbarukan pada tahun 2060 (US$1.042 miliar untuk pembangkit listrik dan US$135 miliar untuk sistem transmisi).

“Berbagai mekanisme mobilisasi pendanaan dan investasi pembiayaan telah ada di Indonesia. Tren menunjukkan bahwa climate financing dapat menjadi salah satu sumber pendanaan yang dapat mendukung proses transisi energi di Indonesia. Integrasi ataupun modifikasi terhadap berbagai instrumen yang ada juga dapat menjadi modalitas yang baik dalam mendukung proses transisi energi di Indonesia. Lalu bagaimana upaya Indonesia untuk segera meningkatkan pendanaan dalam mendukung target energi bersih tersebut?“ terang Deni Gumilang, Sustainable Energy Finance Advisor, Deputy Programme Manager GIZ Indonesia.

Prioritas instrumen de-risking kebijakan diperlukan karena isu-isu yang lebih banyak dihadapi pada saat ini adalah pada aspek regulasi. Kerangka peraturan yang lebih baik dan lingkungan bisnis yang ramah untuk pertumbuhan energi terbarukan akan dapat menciptakan landasan yang kokoh terkait mobilisasi pendanaan dan mekanisme pembiayaan ke depannya.

Baca Juga: PLN Resmi Operasikan PLTS Terbesar di Sulawesi Selatan

Kondisi tersebut dapat dipenuhi melalui beberapa implementasi instrumen de-risking kebijakan antara lain:

  1. meningkatkan target dan kebijakan energi terbarukan terutama dalam hal kejelasan, konsistensi, kredibilitas, dan koherensinya;
  2. reformasi kebijakan insentif dan penetapan harga, khususnya kebijakan penetapan harga dan subsidi yang berfokus pada energi terbarukan;
  3. menciptakan proses perijinan dan pengadaan yang efektif dan efisien untuk memberikan keamanan dan kepastian investasi;
  4. meningkatkan kualitas manajemen risiko proyek dengan memberikan standar, peringkat, dan dukungan teknis;
  5. Dan meningkatkan kelayakan & kredibilitas proyek dengan memfasilitasi penelitian, pengembangan proyek, serta pengembangan kapasitas.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Aldi Ginastiar

Bagikan Artikel: