Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Berbuah Investasi Baru, Indonesia Perlu Perkuat Regulasi Berbasis Riset dan Sains

Berbuah Investasi Baru, Indonesia Perlu Perkuat Regulasi Berbasis Riset dan Sains Kredit Foto: Antara/Aditya Pradana Putra

Hal serupa juga diumumkan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan, dan Keamanan KADIN Indonesia Bambang Soesatyo (Bamsoet) bahwa JTA International Holding, perusahaan investasi berbasis di Qatar mengumumkan investasi di industri smelter nikel di Indonesia pada Rabu (20/04). Landasannya adalah data riset US Geological Survey yang memproyeksikan cadangan nikel Indonesia mencapai 21 juta metrik ton, atau sekitar 40% nikel dunia ada di Indonesia. 

Dengan hadirnya investasi tersebut dan didukung data riset yang relevan, kata Bamsoet yang juga ketua MPR ini mengatakan, sejalan dengan tekad Indonesia yang ingin menjadi pemain utama dalam ekosistem produsen baterai di dunia. 

Negara ini sudah mendirikan Indonesia Battery Corporation (IBC), sebuah holding yang dibentuk oleh empat BUMN yaitu PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), PT Aneka Tambang Tbk (Antam) PT Pertamina, dan PT PLN.

Baca Juga: Kantongi US$15 Miliar dari Korsel dan China, IBC Kebut Pembangunan Ekosistem Kendaraan Listrik

Pemerintah sebenarnya sudah menyadari pentingnya inovasi dan pengembangan teknologi berbasis riset untuk smelter nikel karena berkaitan dengan lingkungan dan kesinambungan bisnis. Atas dasar itu pada pertengahan 2021 Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi melaporkan hasil audit teknologi yang dilakukan terhadap metode Step Temperature Acid Leach (STAL) untuk proses pelindian.

Hasilnya, metode ini ini mampu me-recovery nikel mulai 89% hingga 91% dan kobalt sebesar 90% hingga 94%. Metode tersebut dinyatakan mampu memberikan nilai tambah komoditas nikel ketika diterapkan dalam smelter skala kecil atau modular.

Baca Juga: Bos OJK Pamer Stabilitas Sektor Jasa Keuangan Indonesia ke Investor Amerika Serikat

Dengan teknologi ini, smelter nikel dapat menghasilkan limbah yang lebih ramah lingkungan. Sebab, limbahnya bisa dikelola kembali menjadi produk yang bernilai.

Hanya saja, penerapannya membutuhkan biaya relatif tinggi. Satu smelter bisa memakan biaya Rp25 Triliun. Atas dasar itu dibutuhkan investasi.

”Intinya policy based on research atau science dan inovasi teknologi itu adalah untuk menghindari sekecil mungkin akibat-akibat negatif yang ditimbulkan dari pembangunan investasi tersebut,” imbuhnya.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Annisa Nurfitri

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: