Sudah cukup lama makna emansipasi ini berada dalam status quo.
Kita banyak mendengar kasus kekerasan terhadap perempuan, rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen, dan kita juga banyak melihat sendiri berbagai dampak situasi ekonomi politik, termasuk kebijakan justru makin menyulitkan akses keterjangkauan kaum perempuan.
Lagi-lagi situasi ini membuat kaum perempuan tak punya daya tawar yang kuat dan menjadi kelompok yang paling rentan akan dampak ketidakadilan.
Tahun ini semua status quo ini menguap sekejap karena disahkannya UU Tindang Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), sembilan hari sebelum peringatan momentum hari emansipasi perempuan.
Ada banyak alasan mengapa momen peringatan Hari Kartini kali ini terasa berbeda.
Saya akan merangkum beberapa di antara alasan-alasan itu dalam tiga faktor utama yang juga menjadi refleksi terhadap perjuangan panjang mencapai emansipasi.
Pertama, Faktor Puan Maharani.
Tak dipungkiri bahwa salah satu kemajuan dukungan kebijakan yang melindungi perempuan keberadaan Puan, di kursi Ketua DPR-RI.
Gagasan Pembentukan UU TPKS juga dimulai dari keprihatinan Puan karena kasus pemerkosaan yang menewaskan seorang anak perempuan.
UU TPKS hampir satu dekade terombang-ambing tak menentu. Sampai di tangan Puan, tuntutan pengesahan UU TPKS ini mendapatkan jawabannya.
Kedua, faktor komitmen kelompok masyarakat sipil.
Ada lebih dari 100 kelompok masyarakat sipil yang mengawal pengesahan UU ini.
UU TPKS merupakan model kebijakan pembentukan UU yang inklusif dengan kelompok sipil masyarakat.
Ia bagai oase di tengah keringnya keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil