Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tantangan Ekonomi Kreatif Indonesia dari Kacamata Perlindungan HAKI

Tantangan Ekonomi Kreatif Indonesia dari Kacamata Perlindungan HAKI Kredit Foto: Istimewa

Armand berharap, peringatan Hari HAKI Sedunia kali ini bisa kembali mengingatkan permasalahan pelanggaran HAKI yang tak ada habisnya di Indonesia. Sebab pada akhirnya, konsumen-lah yang akan dirugikan jika masalah ini terus berlanjut.

"Kan lucunya, kita ikut bayar pajak tapi tidak mendapat perlindungan. Apakah mereka yang menjiplak ini bayar pajak? Kenapa sulit sekali ditindak," ungkap putra Mr Joger itu.

Soal HAKI, Kemenparekraf juga menyatakan karya-karya kekayaan intelektual lahir dari dari kemampuan intelektual manusia melalui curahan waktu, tenaga, pikiran, daya cipta, rasa, dan karsa. Karya-karya ini wajib dilindungi karena memiliki nilai atau manfaat ekonomi bagi kehidupan manusia.

Indonesia sudah memiliki beberapa payung hukum perlindungan terhadap HAKI, termasuk Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek.

Baca Juga: Hari Belanja Brand Lokal 2022: Bangkitkan Semangat #BanggaBuatanIndonesia

Pabrik Kata-Kata Joger sudah memiliki sertifikat merek sejak tahun 1997 yang seharusnya mendapat perlindungan dari payung-payung hukum tersebut. Selain itu, Joger juga telah mendaftarkan beberapa desain, karya, dan produknya ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kemenkumham. Merek Joger pun sudah terdaftar di Singapura, China, dan Australia.

Sebagai merek dengan produk dengan daya kreativitas tinggi, Joger tentunya menjunjung tinggi urusan HAKI. Kaus kata-kata Joger yang murni atas daya kreatif sang pendiri Joger, Joseph Theodorus Wulianadi atau Mr Joger, sangat terkenal di dunia pariwisata nasional dan mancanegara.

Menurut Mr Joger, pihaknya pada tahun 1999 pernah memperkarakan masalah penjiplakan kaus Joger. Berawal dari berbagai persuasi yang dilakukan kepada para pedagang oleh-oleh di Bali, namun tak didengarkan.

"Kita bagi-bagi bunga mengimbau supaya jangan menjual barang jiplakan Joger," kisah Mr Joger.

Setelah beberapa kali melakukan persuasi, manajemen Joger akhirnya memperkarakan beberapa pedagang yang masih menjual kaus tiruan Joger.

"Karena sudah keterlaluan. Beberapa kali sudah diingatkan dengan baik, tapi karena sudah kelewatan ya sudah kita masukkan ke meja hijau," ucap pria yang mulai merintis usaha pabrik kata-kata sejak tahun 1981 tersebut.

Baca Juga: Kurasi Produk Lokal Unggulan, BRI Dukung Gernas BBI Sumbar

Beberapa kasus berakhir damai, namun sebagian diteruskan hingga inkrah di pengadilan. Berdasarkan penelusuran, mereka yang memproduksi produk jiplakan Joger kebanyakan adalah orang-orang dengan status ekonomi dan sosial tinggi di Bali.

Bagi Mr Joger, perlindungan karya merupakan hal penting. Sebab ia memulai usahanya dari nol sejak tahun 1980-an. Dimulai ketika ia menjadi guide untuk turis asing di Bali, khususnya warga negara Jerman.

"Selama menjadi guide saya melihat celah-celah atau hal-hal yang kurang bagus di dunia art shop dalam pariwisata di Bali. Hanya menghormati turis-turis asing yang bawa dollar atau devisa. Seharusnya kan kita lebih menghormati turis lokal," cerita Mr Joger.

Berangkat dari situ, Mr Joger lalu membuka Art and Batik Shop di Denpasar. Nama Joger adalah singkatan dari Joseph dan Gerhard. Gerhard sendiri adalah sahabat 'bule' Mr Joger yang sudah dianggap seperti saudara sejak ia sekolah perhotelan di Jerman.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Annisa Nurfitri

Bagikan Artikel: