Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

6 Alasan Larangan Ekspor CPO Layak Dicabut, Alasan Nomor 4 Bikin Ngenes!

6 Alasan Larangan Ekspor CPO Layak Dicabut, Alasan Nomor 4 Bikin Ngenes! Kredit Foto: Antara/Makna Zaezar
Warta Ekonomi, Jakarta -

Siapa pun yang membaca uraian lelaki 56 tahun ini, besar kemungkinan dan bahkan bisa pasti akan bilang 'yess' larangan ekspor dicabut. 

Sebab, uraian itu tidak hanya terkait sisi ekonomi dan sosial di dalam negeri, tetapi juga dampaknya kepada negara-negara miskin di belahan dunia lain. Baca Juga: Pelarangan Ekspor CPO Merugikan Petani dan Mengganggu Pemulihan Ekonomi

Adalah Tungkot Sipayung nama lelaki itu. Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) ini bilang bahwa sudah selayaknya sepekan setelah Idulfitri, kebijakan larangan ekspor CPO, RBD palm oil, RBD palm olein dievaluasi dan bila perlu dicabut. 

Alasannya, pertama, momen Ramadan dan lebaran yang notabene membikin kebutuhn minyak goreng (migor) lebih banyak ketimbang hari biasa, sudah usai. 

"Jadi, enggak ada lagi urgensi pemerintah 'memaksakan' harga migor rendah lewat kebijakan exsport ban," ujar Tim Ahli Pemerintah pada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dalam menghadapi kebijakan Renewable Energy Directives (RED II) ILUC Uni Eropa ini, saat berbincang dengan elaeis.co lepas maghrib tadi.  

Alasan kedua, sebetulnya Bantuan Langsung Tunai (BLT) migor, untuk 23 juta rumah tangga kurang mampu sudah disalurkan untuk bulan April-Juni sebesar Rp300 ribu. "Dengan begitu, masyarakat dan pedagang kecil telah terlindungi oleh pemerintah," terangnya.

Ketiga, kalau kebijakan larangan ekspor masih tetap ada, tentu akan memperpanjang ketegangan antara petani sawit dengan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) pada level lokal. Pemicu ketegangan ini adalah ketidakpastian harga Crude Palm Oil (CPO) referensi untuk harga TBS. 

"Alasan keempat, kebijakan larangan ekspor telah dibayar mahal oleh produsen Tandan Buah Segar (TBS), khususnya 2,5 juta rumah tangga petani sawit di berbagai daerah. Kalau makin lama kebijakan larangan ekspor ini diberlakukan, maka semakin besar korban kebijakan itu," ujarnya. 

Kalau kebijakan larangan ekspor berlangsung terlalu lama, akan memunculkan potensi penyelundupan akibat disparitas harga di dalam negeri dengan luar negeri akibat kebijakan larangan ekspor itu. Bagi Tungkot sendiri, ini menjadi alasan kelima. 

Dan alasan keenam, Indonesia sebagai ketua Presidensia G20, perlu berkontribusi pada upaya pengurangan inflasi dunia khususnya pada negara-negara berpendapatan rendah yang kebetulan pula banyak mengkonsumsi minyak sawit. 

"Saat ini pasokan minyak sunflower dunia terhenti akibat perang Ukraina-Rusia. Kehadiran minyak sawit di pasar dunia menjadi harapan, kelegaan dan solusi kekurangan minyak nabati dunia," panjang lebar Tungkot mengurai. 

Jadi, dengan enam alasan tadi, sudah sepatutnya kebijakan larangan ekspor itu dievaluasi bahkan dicabut. "Kalau pemerintah ingin kebutuhan domestik terlindungi (tidak terlalu mahal), menurut saya, itu bisa diatasi pakai instrumen Pungutan Ekspor (PE) sawit sebagai pengganti larangan ekspor," katanya. 

Gimana Mr. President...?

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Lestari Ningsih

Bagikan Artikel: