Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah melakukan rapat kerja dengan Menteri Keuangan, Sri Mulyani untuk membahas perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2022.
Dihadapan Sri Mulyani, Said Abdullah menyatakan bahwa terjadi kedaruratan APBN 2022 yang disebabkan oleh perubahan pada Indonesia Crude Price (ICP).
Menurutnya, berdasarkan Pasal 42 Undang Undang No 6 tahun 2022 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2022 memberikan ruang bagi pemerintah dan DPR untuk melakukan perubahan atas postur APBN 2022. Berdasarkan ketentuan ayat 1 pasal 42 Undang Undang No 6 tahun 2021 menyatakan
“Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan langkah-langkah antisipasi dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Makna darurat sebagaimana yang dimaksud diatas dijelaskan dalam penjelasan ayat 1 diatas adalah salah satu indikator adanya deviasi asumsi dasar makro dan meningkatnya belanja negara secara signifikan untuk membayar subsidi/kompensasi karena kenaikan harga ICP,” ujarnya.
Baca Juga: Kemenkeu RI Lakukan Konsolidasi Fiskal demi Sehatkan APBN
Dijelaskan lebih lanjut pada ayat 2 Pasal 42 Undang Undang No 6 tahun 2021 bahwa; Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keputusan yang tertuang di dalam kesimpulan Rapat Kerja Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah, yang diberikan dalam waktu tidak lebih dari 2x24 (dua kali dua puluh empat) jam setelah usulan disampaikan Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Mengacu pada ketentuan diatas, harga ICP telah melonjak drastis dari asumsi awal yang ditetapkan pada APBN 2022. Sejalan dengan itu, rupiah dibayangi bergeser dari asumsi nilai tukar yang dipatok oleh APBN, serta potensi naiknya yield pada SBN kita, khususnya yang denominasi US$ sebagai dampak kenaikan suku bunga acuan yang diputuskan The Fed.
Baca Juga: Sri Mulyani: Tambahan Anggaran Subsidi dan Kompensasi untuk Melindungi Masyarakat
“Meskipun sejauh ini depresiasi rupiah terhadap US$ relatif masih kecil. Selebihnya berbagai indikator asumsi ekonomi makro lainnya cenderung ceteris paribus,” ucap Said.
Ia menilai perubahan dari ICP berkonsekuensi lebih jauh pada postur APBN, hal inilah yang menyebabkan kedaruratan pada APBN 2022. Perubahan yang jelas akan terjadi yakni pada postur belanja Kementerian dan lembaga (K/L) dan Belanja non K/L. Perubahan belanja K/L dan non K/L juga akan memiliki mata rantai dengan perubahan target pendapatan negara. Perubahan pada belanja K/L dan non K/L serta pendapatan negara berkonsekuensi pula pada perubahan defisit APBN 2022.
“Karena pangkal persoalan bermula dari perubahan harga minyak dunia, maka dasar perubahan pertama yang harus kita lakukan pada APBN 2022 adalah perubahan asumsi ICP. Pemerintah mengusulkan perubahan ICP dari 63 US$ per barel menjadi kisaran 95 sampai 105 US$ per barel. Konsekuensi dari kita mengadaptasi perubahan ICP yang makin besar, maka belanja subsidi dan kompensasi energi otomatis juga makin meningkat,” jelasnya.
Pemerintah memperkirakan penambahan subsidi BBM, LPG dan listrik berkisar antara Rp74,9. Selain itu ada kebutuhan untuk menambah biaya kompensasi bbm sebesar Rp234 triliun serta penambahan kompensasi listrik sekitar Rp41 triliun.
Kemuddian, naiknya berbagai kebutuhan barang konsumsi rumah tangga juga meniscayakan kenaikan anggaran perlindungan sosial bagi rumah tangga miskin.
Perkiraan pemerintah alokasi penebalan anggaran perlindungan sosial sekitar Rp18,6 triliun. Untuk memperkuat spending daerah, dan merujuk ketentuan bagi hasil, pemerintah memberikan tambahan Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp47,2 triliun. Namun pemerintah melakukan efisiensi dengan pengurangan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp12 triliun.
Baca Juga: Menkeu Sebut Rencana Defisit APBN 2023 Rp596,7 Triliun
Dengan sederet penambahan pos belanja diatas, lanjut Said, maka berdasarkan undang undang, cadangan belanja pendidikan secara konsekuensial juga naik pada kisaran Rp23,9 triliun. Penambahan beberapa pos belanja diatas juga berkonsekuensi menyerap tambahan penggunaan SAL sekitar Rp50 triliun. Perubahan perubahan ini berkonsekuensi pada perubahan pos belanja negara secara keseluruhan. Usulan pemerintah belanja negara menjadi sekitar Rp3.106 triliun
“Yang patut kita syukuri, penambahan beberapa pos belanja negara dapat kita penuhi dengan perkiraan pendapatan negara yang bertambah,” ujarnya.
Baca Juga: Kemenkeu: APBN 2022 Akan Tetap Ekspansif untuk Antisipasi Pandemi Covid-19
Pemerintah memperkirakan kenaikan pendapatan negara menjadi Rp2.266 triliun dari perencanaan semula pada APBN 2022 sebesar Rp1.846 triliun. Naiknya pendapatan negara disumbangkan dari penerimaan pajak maupun PNBP atas kenaikan berbagai komoditas ekspor yang menjadi andalan kita seperti; CPO dan batubara.
“Dengan perubahan komposisi pendapatan dan belanja negara, puji syukur defisit APBN kita sebagaimana usulan pemerintah malah bisa lebih rendah, dari semula 4,85 persen PDB menjadi kisaran 4,3 sampai 4,5 persen PDB. Lebih rendahnya perubahan rencana defisit tahun 2022 ini makin memudahkan pemerintah softlanding ke posisi dibawah 3 persen PDB pada tahun depan,” tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri