Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa pelaksanaan kebijakan fiskal pada tahun 2023 akan berfokus pada ekonomi hijau. Green Economy atau ekonomi hijau juga menjadi salah satu bahasan dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20. Lantas, apa itu ekonomi hijau dan bagaimana contohnya?
Wacana terkait ekonomi hijau berawal dari keprihatinan atas konsekuensi sistem ekonomi yang kian merusak lingkungan. Menyatat keterangan di laman resmi United Nations Environment Programe (UNEP), ekonomi hijau didefinisikan sebagai ekonomi yang rendah karbon, hemat sumber daya, dan inklusif secara sosial.
Baca Juga: Sri Mulyani: Kebijakan Fiskal 2023 Akan Fokus pada Penguatan SDM dan Ekonomi Hijau
Dalam konsep ekonomi hijau, pertumbuhan lapangan kerja dan pendapatan bisa dicapai lewat investasi publik dan swasta. Caranya adalah dengan menggunakan infrastruktur dan aset yang dapat memangkas emisi karbon dan polusi, meningkatkan efisiensi energi dan sumber daya, serta pencegahan hilangnya keanekaragaman hayati dalam ekosistem.
Perbedaan ekonomi hijau dibanding gagasan ekonomi lainnya adalah penilaian langsung kepada modal alami dan jasa ekologis sebagai nilai ekonomi dan akuntansi biaya yang diwujudkan ke masyarakat dapat ditelusuri kembali dan dihitung sebagai kewajiban, kesatuan yang tidak membahayakan atau mengabaikan aset.
Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi dengan konsep ekonomi hijau diharapkan dapat sejalur dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Hal ini tak bisa dilepaskan dari pertumbuhan penduduk yang cepat dan berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi serta konsumsi sumber daya alam.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa menyatakan bahwa ekonomi hijau merupakan bagian penting dari transformasi ekonomi Indonesia menuju negara maju di 2045.
Suharso menyatakan bahwa Indonesia menghadapi tantangan yang besar untuk mengembalikan trajectory pertumbuhan ekonomi ke sebelum adanya pandemi Covid-19. Untuk itu, dibutuhkan strategi dan upaya di luar business as usual, termasuk di antaranya adalah ekonomi yang rendah karbon.
"Bappenas menetapkan strategi transformasi ekonomi untuk mengembalikan pertumbuhan ekonomi ke trajectory sebelum pandemi, dan menempatkan ekonomi hijau sebagai salah satu game changer dari transformasi ekonomi," ujar Suharso.
Barawal dari wacana tersebut, muncul berbagai pendekatan dan mekanisme berbasis sains dan teknologi guna meraih pertumbuhan ekonomi yang kuat, tetapi tetap ramah lingkungan dan inklusif secara sosial.
Berdasarkan laporan Green Growth Index (GGI) terbaru, Swedia merupakan negara terbaik yang menerapkan ekonomi hijau. GGI merupakan indeks yang dirilis oleh Global Green Growth Institut untuk mengukur pertumbuhan ekonomi ramah lingkungan negara-negara di dunia.
Mengutip laman resmi Pemerintah Swedia, dijelaskan bahwa Swedia merupakan negara pertama yang mengesahkan undang-undang perlindungan lingkungan sejak 1967. Negara Skandinavia itu mengelola ekonominya secara substansial sembari mengikis emisi karbon dan polusi. Saat ini, lebih dari setengah pasokan energi nasional Swedia berasal dari energi terbarukan.
Di perkotaan, Stockholm yang merupakan Ibu Kota Swedia, telah mengalami perkembangan jumlah populasi yang signifikan. Pada 1950-an kota itu sudah padat penduduk, sementara jutaan orang perlu disuplai dengan air, udara, dan energi bersih.
Di negara berkembang, pembangunan perumahan di hutan dan lahan pertanian kerap jadi solusi untuk masalah tersebut. Namun, Stockhlom justru mendirikan taman nasional di perkotaan untuk melindungi ruang hijau. Ini merupakan yang pertama di dunia.
Contoh lain dari praktik ekonomi hijau adalah menggunakan bahan bakar non fosil yang tak menghasilkan banyak zat karbon. Pada 2030, Swedia menargetkan bebas bahan bakar fosil di sektor transportasi. Lalu, pada 2045, negara itu berharap benar-benar lepas dari penggunaan bahan bakar fosil serta mewujudkan keseimbangan iklim.
Namun, Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan, kebutuhan pendanaan Indonesia untuk pembangunan rendah karbon mencapai Rp306 triliun. Nilai yang tinggi ini menjadi tantangan bagi Pemerintah Indonesia untuk melakukan transformasi ekonomi hijau. Suharso menjelaskan, dari total kebutuhan dana tersebut, idealnya proposi pendanaan dari pemerintah mencapai 24 persen atau sebesar Rp72,2 triliun.
Sementara, sebanyak 76 persen lainnya atau Rp232,56 triliun pendanaannya berasal dari swasta atau filantropi. Sayangnya, pemerintah hanya mampu memenuhi kebutuhan pendanaan untuk pembangunan rendah karbon sebesar Rp23,45 triliun-Rp34,52 triliun. Artinya, terdapat kekurangan pendanaan sekitar 13 persen dari pemerintah.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Martyasari Rizky
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: