Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Soal RIPH, Pengamat UI: Jangan Sampai Kebijakan Jadi Kepanjangan Tangan Pencari Rente

Soal RIPH, Pengamat UI: Jangan Sampai Kebijakan Jadi Kepanjangan Tangan Pencari Rente Kredit Foto: Antara/Zabur Karuru
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kisruh soal Permentan tentang Pengawasan RIPH turut memancing komentar banyak pihak, salah satunya Hurriyah, Dosen Ilmu Politik UI yang juga pengamat kebijakan publik.  

Menurut Wakil Direktur Pusat Kajian Politik UI tersebut perdebatan soal aturan karantina yang mensyaratkan adanya RIPH menarik karena dua hal: pertama, kemungkinan friksi antar aturan dan kedua, kemungkinan tidak terakomodasinya kepentingan pihak-pihak tertentu dari aturan baru soal importasi.

Dalam ranah pertama, Hurriyah menilai perlu identifikasi yang jelas mengenai bidang-bidang aturan. Menurutnya itu bisa dilakukan jika ada anatomi yang jelas mengenai fungsi-fungsi badan dalam kementerian itu sendiri.

“Jadi perdebatannya kan soal apakah apakah tepat memasukkan RIPH sebagai syarat pemeriksaan di Karantina. Nah menurut saya harus dipetakan dan diidentifikasi dengan jelas ranah masing-masing, antara ranah karantina dan ranah RIPH. Kalau tidak nyambung ya jangan dipaksakan” Kata Hurriyah.

Identifikasi itu penting menurutnya sebagai awal pembentukan kebijakan publik yang memadai (proper) dalam perspektif politik kebijakan. Sebab, kebijakan publik adalah produk hukum yang merupakan manifestasi dari politik dalam perspektif alokasi dan distribusi kewenangan. 

“Nah, alokasi dan distribusi kewenangan itu juga harus tertib agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dan juga untuk menghindari over-authority dari sebuah badan atau lembaga pemerintah.” Paparnya.

Kewenangan yang tumpang tindih maupun over-authority menurut Hurriyah selain bisa mengakibatkan kerumitan birokrasi juga akan memunculkan potensi korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Padahal, menurutnya, tujuan dari perubahan aturan importasi adalah menyederhanakan birokrasi dan mengurangi potensi korupsi.

"Semangat meniadakan kebijakan RPIH kan karena implementasinya selama ini memunculkan dua masalah tersebut (keruwetan birokrasi dan potensi korupsi), makanya dibuat aturan baru untuk meniadakan RPIH sebagai syarat importasi", paparnya.

Dengan demikian, Hurriyah menyarankan pentingnya mengkaji lagi apakah Permentan soal pengawasan RPIH yang telah disahkan memang diperlukan. Selain itu, Hurriyah juga menyarankan pentingnya membuka masukan publik dan semua stakeholders terkait dalam proses penyusunan Permentan guna memastikan terpenuhinya prinsip-prinsip kebijakan publik yang baik, aspiratif, dan tepat sasaran.

Sedangkan hal kedua yang menarik adalah mengenai kemungkinan adanya potensi kepentingan yang tidak terakomodasi karena perubahan aturan importasi produk hortikultura tersebut. Dalam hemat Hurriyah, perubahan kebijakan pasti akan mengubah distribusi beban kerja dan keuntungan yang mungkin didapat masing-masing aktor.

Namun Hurriyah mengingatkan bahwa yang tetap harus diutamakan adalah kepentingan lembaga dan kepentingan publik.

Dalam hal RIPH, Hurriyah melihat tujuan awalnya adalah untuk menjaga mengatur pasokan impor agar produsen dalam negeri terlindungi dan bisa tetap berdaya di pasar domestik. 

Untuk itu, perlu dipikirkan bagaimana kepentingan lembaga dan kepentingan publik di bidang itu bisa tetap dijaga lewat instrumen lain selain RIPH. 

Menurut Hurriyah, penting bagi Balitbang Pertanian untuk bekerjasama dengan BRIN dan lembaga riset lain untuk mengembangkan produk-produk domestik yang kuantitas dan kualitasnya bisa bersaing dengan produk impor.

Sedangkan mengenai kemungkinan adanya kepentingan aktor tertentu untuk mempertahankan RIPH, Wakil Direktur Puskapol UI tersebut mengatakan bahwa wajar jika dalam pembentukan dan kebijakan ada aktor-aktor yang punya kepentingan.

Tetapi lagi-lagi yang harus dijaga menurutnya adalah kepentingan publik. Ia juga mengarahkan kepentingan aktor agar tidak melanggar batas-batas hukum maupun prinsip-prinsip demokrasi.

“Karena itu, harus ada keterbukaan dan pengawalan publik terhadap proses pembentukan kebijakan, apapun itu, termasuk Permentan ini. Ini supaya kebijakan apapun tidak menjadi ajang bagi pencari rente” katanya menutup pembicaraan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: