Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Gugatan Partai Gelora Terkait Aturan Pemilu Serentak Malah Ditolak MK, Fahri Hamzah Kecewa Berat: Saksi Belum Diperiksa

Gugatan Partai Gelora Terkait Aturan Pemilu Serentak Malah Ditolak MK, Fahri Hamzah Kecewa Berat: Saksi Belum Diperiksa Kredit Foto: Instagram/Fahri Hamzah
Warta Ekonomi, Jakarta -

Gugatan terhadap aturan keserentakan pemilihan umum (pemilu) yang dilayangkan oleh Partai Gelombang Rakyat (Gelora) berbuntut penolakan dari Mahkamah Konstitusi (MK). Terkait hal ini, wakil ketua umum (Waketum) Gelora Fahri Hamzah menyampaikan kekecewaannya.

Menurut Fahri, legal standing dan dasar pengajuan gugatan tersebut diterima, tetapi Majelis Hakim menolak melanjutkan sidang dan berhenti pada pemeriksaan permohonan saja. Fahri menyebut kesimpulan yang dihasilkan MK bersifat premature, karena para ahli dan saksi yang diajukan Partai Gelora belum pernah diperiksa.

"Itulah yang kami sayangkan setelah dua aspek ini dipertimbangkan oleh Majelis Hakim MK, yaitu aspek legal standing dan dasar pengajuan diterima justru majelis hakim menolak untuk meneruskan sidang dan hanya berhenti pada pemeriksaan dokumen permohonan," kata Fahri kepada wartawan, Senin (11/7/2022).

Baca Juga: Mahkamah Konstitusi (MK) Borong Penolakan Terhadap Gugatan DPD, Gelora dan PBB, Pakar Tegas: Publik Harus Bangkit!

Apabila ahli dan saksi diperiksa, Fahri meyakini pendirian MK mengenai isu pokok dengan frasa serentak sehingga norma Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017 akan bergeser secara fundamental, terkait alasan hukumnya.

Ia mengatakan, MK diyakini akan menggeser pendiriannya untuk mempertahankan norma haruslah tetap dinyatakan konstitusional, menjadi tidak konstitusional atau inkonstitusional seperti pandangan Partai Gelora.

Lebih lanjut, Fahri pun berharap jika suatu saat nanti Gelora kembali mengajukan permohonan serupa, Majelis Hakim dapat membuka ruang debat di persidangan untuk mengetahui lebih dalam duduk perkara permohonan gugatan.

"Karena sekali lagi, legal standing Partai Gelora diterima, alasan permohonan dianggap baru dan belum pernah dipakai, artinya diterima, tapi sidang tidak diteruskan karena para hakim MK anggap belum perlu berubah sikap. Maka Bagaimana membuktikan kalau saksi belum diperiksa?," tuturnya.

Baca Juga: Tolak Uji Materi Keserentakan Pemilu, Kuasa Hukum Partai Gelora: Putusan MK Membingungkan!

Adapun Ketua Umum Partai Gelora, Anis Matta, mengatakan, pihaknya tengah mempelajari kemungkinan untuk segera mengajukan kembali gugatan pemisahan pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) ke MK dalam waktu dekat.

"Kami sedang mempelajari kemungkinan mengajukan gugatan kembali," kata Anis Matta.

Ia mengatakan, gugatan Partai Gelora ini juga bisa menjadi alternatif atas gugatan presidential threshold 0 persen, yang kerap ditolak MK karena lantaran tidak memiliki legal standing dan lain-lain.

"Pada prinsipnya Partai Gelora ingin memastikan presiden yang dicalonkan berdasarkan pada suara rakyat yang mewakili pikiran dan perasaan hari ini, bukan yang kedaluwarsa," tuturnya.

Menurutnya, Gelora juga bertujuan memberi peluang bagi lahirnya pemimpin baru di tengah krisis berlarut saat ini. "Ini sangat merugikan kami sebagai partai politik dan rakyat sebagai pemilik suara. Penolakan MK atas gugatan tersebut prematur dan membingungkan," tutupnya.

Gugatan Ditolak

Sebelumnya, MK RI menolak gugatan atau permohonan pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum oleh Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia.

"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan perkara Nomor 35/PUU-XX/2022 yang disiarkan MK secara virtual di Jakarta, Kamis (7/7/2022).

Baca Juga: Sindir KIB Kumpulan Orang Bingung, Politikus PPP "Kasihani" Fahri Hamzah: Mungkin Stres, Kan, Partai Gelora Belum Tentu Lolos

Pengujian UU Pemilu tersebut diajukan oleh Partai Gelora Indonesia yang diwakili oleh Anis Matta selaku Ketua Umum Partai Gelora dan Mahfuz Sidik sebagai Sekretaris Jenderal Partai Gelora Indonesia.

Dalam pokok permohonannya, pemohon mendalilkan Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Argumentasi pemohon, antara lain, terkait dengan model keserentakan penyelenggaraan pemilu.

Mahkamah melalui putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang diucapkan pada bulan Januari 2014 dan putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan pada tanggal 26 Februari 2020 telah mempertimbangkan original intent sebagai dasar pemilu serentak.

Menurut pemohon, tidak ada original intent pemilu serentak sebab tidak pernah menjadi keputusan bersama anggota panitia ad hoc dan Badan Pekerja MPR RI. Dengan demikian, digunakannya metode original intent oleh mahkamah dalam menetapkan pemilu serentak tidak memiliki dasar historis.

Baca Juga: Geram Soal Alasan MK Tolak Gugatan Presidential Threshold, Refly Harun: Omong kosong Itu!

Oleh karena itu, pemohon berpendapat bahwa penyelenggaraan Pemilu 2024 untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD dapat lebih awal dari Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, pemohon memohon agar mahkamah menyatakan frasa "secara serentak" dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Hal itu sepanjang tidak dimaknai pemilihan anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan DPRD terhitung sejak Pemilu 2024 dan seterusnya tidak dilaksanakan pada hari yang sama. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah ditetapkannya perolehan suara dan kursi DPR.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ayu Almas

Bagikan Artikel: