Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pemerintah Mau Lanjutkan Kebijakan Simplifikasi Tarif Cukai Rokok, Ini Dampaknya

Pemerintah Mau Lanjutkan Kebijakan Simplifikasi Tarif Cukai Rokok, Ini Dampaknya Kredit Foto: Antara/Muhammad Bagus Khoirunas
Warta Ekonomi, Jakarta -

Menteri Keuangan Sri Mulyani disebut berencana melanjutkan kebijakan simplifikasi tarif cukai rokok hingga menjadi 5 layer. Salah satu aspek yang dikhawatirkan pengusaha Industri Hasil Tembakau (IHT), yaitu kebijakan tersebut akan menyebabkan pabrikan sigaret kretek mesin (SKM) yang berada pada golongan II B dipaksa naik ke II A dan dibebani tarif yang tinggi. 

Rektor Universitas Merdeka Pasuruan Dr. Sulistyawati menilai dengan naiknya tarif cukai rokok akan membuat produksi yang dihasilkan petani tembakau di Pasuruan menurun. Sehingga, dirinya berharap kebijakan pemerintah juga memperhatikan nasib para petani tersebut.

"Petani tembakau itu, mau tidak mau menyesuaikan dengan perkembangan yang ada di negara kita. Di satu sisi ingin meningkatkan produksinya, tapi di sisi lain mengingat produksi yang berkualitas tinggi itu (membutuhkan biaya) mahal, namun kadang hasil jualnya tidak sesuai. Hal itu membuat petani kurang semangat ngopeni (mengurus) tembakaunya," katanya. 

Baca Juga: Elemen Pertembakauan Tolak Kenaikan Cukai Rokok

Jawa Timur merupakan produsen tembakau terbesar di Indonesia, disusul Jawa Tengah. Data Sulistyawati, lahan pertanian tembakau saat ini mencapai 101,8 ribu hektar, dengan jumlah pabrikan rokok sejumlah 254 pabrik. 

Hal senada dikatakan Anggota Komisi XI Muhammad Misbakhun. Ia mengatakan, sebaiknya pemerintah mengurungkan niat untuk melanjutkan simplifikasi tersebut. "(IHT) berkaitan erat dari sektor hulu ke hilir dan berdampak luas secara sosial di sentra-sentra tembakau. Menyerap 650 ribu pekerja IHT. Melibatkan jutaan pelaku usaha dan tenaga kerja di sektor distribusi dan retail," kata Misbakhun. 

Menurut dia, para petani tembakau yang terdampak dari adanya kebijakan tersebut harus dilindungi hak konstitusionalnya dalam memproduksi tembakau yang berkualitas. "Saya membela, karena petani tembakau itu punya hak yang sama dengan petani yang lain, mempunyai hak konstitusional untuk dilindungi dan dibela. Petani tembakau juga ingin menyekolahkan anaknya jadi dokter. Kalau petani disuruh konversi kerjanya, itu tidak adil,” tambahnya.

Dalam diskusi daring Catatan Kritis Cukai Hasil Tembakau dan Tantangan ke Depan yang digelar oleh Universitas Merdeka Pasuruan, Ketua Gabungan Pabrik Rokok (Gapero) Surabaya Sulami Bahar juga turut menyuarakan kalkulasinya jika pemerintah tetap melakukan pembahasan soal simplifikasi tarif cukai rokok. 

"Simplifikasi ini disuarakan oleh salah satu perusahaan asing yang sudah lama berada di Indonesia. Jika simplifikasi terus dilakukan, maka yang akan terjadi adalah akan banyak pabrikan kecil yang gulung tikar dan berimbas pada tenaga kerja yang mau tidak mau akan kehilangan pekerjaannya," kata Sulami.

Baca Juga: Kemenkeu Mau Lanjutkan Simplifikasi Cukai Rokok, Bagaimana Nasib Industri Tembakau?

Ia menjelaskan, berdasarkan data dari INDEF pada 2018, sektor IHT dapat menyerap 6 juta orang tenaga kerja. Dari total itu, 2,9 juta pedagang eceran, 150 ribu buruh pabrik, 60 ribu karyawan pabrik, 1,6 juta petani cengkeh, dan 2,3 juta petani tembakau. 

Kontribusi IHT terhadap penerimaan negara itu juga amat besar, karena sektor tersebut merupakan satu-satunya industri yang terintegrasi dari hulu sampai hilir. Sebab, proses produksi terbilang lengkap, mulai dari penyediaan input produksi, pengolahan hingga proses distribusinya. Artinya, dari IHT saja sudah memberi kontribusi yang signifikan bagi penerimaan ekonomi nasional, dan masyarakat yang terlibat di dalam proses bisnisnya. 

"Jadi kontribusi kami kepada negara itu luar biasa, saat ini 2022 kami memberikan (ditargetkan) berkontribusi Rp 188 triliun, luar biasa. Dan Jawa Timur dari Rp 188 triliun, sumbangannya Rp 101 triliun. Kontribusi terbesar itu disumbangkan dari Kabupaten Pasuruan," ujarnya.

Di sisi lain, simplifikasi berbanding lurus dengan peningkatan rokok ilegal. Artinya kalau dijalankan, harga rokok akan lebih mahal dan akan menambah maraknya rokok-rokok ilegal. "Pada prinsipnya perokok tidak pernah berhenti, tapi akan lari ke rokok ilegal. Kalau itu terjadi, tentunya pendapatan negara akan berkurang. Pada 2019, ketika tidak ada kenaikan tarif cukai dan simplifikasi, peredaran rokok ilegal mengalami penurunan signifikan," kata dia. 

Baca Juga: Simplifikasi Cukai Hasil Tembakau Dinilai Bisa Mematikan Pabrik Rokok dan Petani Tembakau

Ia menyarankan agar pemerintah bisa mempertimbangkan untuk memberlakukan kenaikan cukai secara multi years, artinya kebijakan tarif cukai rokok ditetapkan untuk beberapa tahun mendatang, misalnya 3 sampai 5 tahun. "Kenaikan yang moderat dengan dasar perhitungan yang jelas dan konsisten seperti inflasi atau pertumbuhan ekonomi. Adanya roadmap kenaikan tarif cukai rokok untuk menunjang kebijakan multi years."

"Jangan naikkan tarif cukai terlalu tinggi, pasti rokok ilegal akan turun. Karena daya beli konsumen itu kalau yg legal tidak terlalu tinggi, pasti masih terjangkau. Tolong pemerintah perhatikan masukan kami," katanya. 

Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Pasuruan Hannan Budiharto mengakui bila tarif cukai IHT telah memberikan sumbangsih besar bagi perekonomian Indonesia. "Bea cukai Pasuruan merupakan penyumbang penerimaan tertinggi secara nasional pada 2021. Tahun 2022 sampai akhir tahun kita sudah proyeksikan akan tercapai sebesar Rp 57 triliun," katanya. Ia menuturkan, selama ini Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCT) yang diterima oleh Kabupaten telah banyak dirasakan untuk pembangunan di daerah. "Untuk membangun RSUD Bangil itu dikucurkan Rp8 miliar dan puskesmas Rp1 miliar," kata dia.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: