Anggaran Fiskal Terbatas, Pemerintah Dinilai Belum Prioritaskan Pemulihan Ekonomi Hijau
Peneliti dan Spesialis Teknologi & Material Fotovoltaik di Institute for Essential Services Reform (IESR) Daniel Kurniawan menyebut pemerintah Indonesia sejauh ini masih belum memprioritaskan pemulihan hijau dalam rangka pemulihan ekonomi nasional pascapandemi.
Hal ini terlihat dari alokasi anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang masih dominan menyasar sektor energi fosil yang menjadi penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca di Indonesia.
"Alokasi anggaran untuk inisiatif pengembangan rendah karbon ini masih sangat rendah, hanya di bawah 1 persen atau sekitar Rp7,63 triliun dari alokasi PEN 2021 sebesar Rp747,7 triliun," ujar Daniel, Rabu (10/8/2022).
Baca Juga: Pemulihan Ekonomi Perlu Dibarengi dengan Pertumbuhan Energi Hijau
Daniel mengidentifikasi beberapa alasan mengapa pemerintah masih lambat dalam menyelaraskan pemulihan ekonomi dengan pemulihan hijau, di antaranya karena adanya anggapan bahwa inisiatif pemulihan hijau belum mendesak untuk dilakukan karena bersifat jangka panjang dan keterbatasan anggaran fiskal.
Menjawab hal tersebut, Daniel dalam laporan yang sama menyebutkan bahwa penyelarasan pemulihan ekonomi dengan pemulihan ekonomi hijau dapat dilakukan dengan mendorong adopsi PLTS atap.
Daniel menyebut, PLTS atap dapat dipasang dengan lebih cepat dibandingkan PLTS skala utilitas, berperan penting untuk dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan, dan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan.
"Pemasangan 2.000 unit (9,1 MWp) PLTS atap setidaknya akan menciptakan 270 pekerjaan langsung, 270 pekerjaan tidak langsung, 170 pekerjaan baru," ujarnya.
Lanjutnya, agar adopsi PLTS atap dapat berlangsung cepat, Daniel mendorong pemerintah untuk, pertama, melaksanakan pengadaan umum untuk pemasangan PLTS atap di bangunan pemerintah.
Menurutnya, biaya pengadaan PLTS atap dapat ditekan dengan menggunakan skema pembiayaan jangka panjang yang hanya membayar biaya operasional PLTS atap saja. Kedua, melaksanakan program pengadaan umum PLTS atap yang ditujukan untuk rumah tangga bersubsidi atau yang IESR sebut sebagai program Surya Nusantara. Manfaat ekonominya berupa pemotongan subsidi listrik.
"Program Surya Nusantara ini akan menghemat subsidi listrik dari APBN sebesar Rp1,3 triliun per tahun atau Rp32,5 triliun selama 25 tahun umur ekonomis PLTS atap. Selain itu, program ini juga dapat menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 1,05 juta CO2 per tahun untuk instalasi 1 GWp PLTS atap," ucapnya.
Ketiga, mendorong adopsi atau skala kecil dengan memberikan insentif finansial berupa subsidi maupun pemasangan kWh meter yang gratis atau insentif fiskal seperti misalkan ada pembebasan pajak dan langkah lainnya yang bisa membuat masyarakat tertarik untuk memasang PLTS atap.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: