Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ajukan Eksepsi, Kuasa Hukum Piere Sitanggang Sebut Dakwaan JPU Batal Demi Hukum

Ajukan Eksepsi, Kuasa Hukum Piere Sitanggang Sebut Dakwaan JPU Batal Demi Hukum Kredit Foto: Rawpixel/Teddy Rawpixel
Warta Ekonomi, Jakarta -

Tim Kuasa Hukum Terdakwa Pierre Togar Sitanggang menyatakan Surat Dakwaan Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang lanjutan perkara korupsi minyak goreng tidak memenuhi syarat materiil maupun syarat formil. Tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap sehingga berimplikasi yuridis, batal demi hukum (van rechtswegenietig). 

Hal tersebut disampaikan Tim Kuasa Hukum Terdakwa Pierre Togar Sitanggang yang diketuai Denny Kailimang, S.H., M.H. dalam nota keberatannya. Menurut Tim Kuasa Hukum, Surat Dakwaan Tim Jaksa Penuntut Umum tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap dengan implikasi yuridis yaitu Surat Dakwaan batal demi hukum (van rechtswegenietig) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b Jo. Pasal 143 ayat (3) KUHAP. 

Menurut Denny, dalam hal ini, ketelitian Jaksa Penuntut Umum diperlukan dalam rangka mempersiapkan Surat Dakwaan agar tidak terdapat  kekurangan dan atau kekeliruan yang dapat mengakibatkan batalnya Surat Dakwaan atau tidak dapat dibuktikan. 

Untuk itu, Denny meminta Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara dapat melihat secara seksama dan penuh dengan rasa keadilan bahwa Surat Dakwaan Nomor Reg. Perkara: PDS-18/M.1.10/Ft.1/08/2022, tanggal 8 Agustus 2022, tidak dapat diterima dan harus dibatalkan karena tidak memenuhi syarat materiil maupun syarat formil sebagaimana tercantum dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b Jo. Pasal 143 ayat (3) KUHAP.

Selain itu, lanjutnya, Tim JPU tidak dapat menguraikan secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa atas nama Pierre Togar Sitanggang. 

"Dalam Surat Dakwaan Tim JPU hanya menyebutkan jangka waktu tindak pidana (Terdakwa) Untuk Kurun Waktu Januari 2022 s.d. Maret 2022, padahal Dalam Surat Perintah Penyidikan Kurun Waktu Tindak Pidana yang Disangkakan Terjadi pada Januari 2021 s.d. Maret 2022," kata Denny seusai sidang di Pengadilan Pidana Korupsi, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa, 6 September 2022.

Menurutnya, berdasarkan Dakwaan Primair dan Subsidairnya, Tim JPU menyebutkan bahwa Terdakwa selaku General Manager bagian General Affair PT Musim Mas melakukan/turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum tindak pidana dari bulan Januari 2022 s.d bulan Maret 2022 bertempat di Kantor Kementerian Perdagangan Republik Indonesia.

"Tempus delicti yang didakwakan kepada Terdakwa, ternyata berbeda dengan tempus delicti pada saat proses penyidikan. Padahal dalam Surat Perintah Penyidikan Nomor: PRIN-22/F.2/Fd.2/04/2022, tanggal 19 April 2022 dan Surat Penetapan Tersangka  Nomor: Tap-20/F.2/Fd.2/04/2022, tanggal 19 April 2022, tempus delicti perkaranya adalah bulan Januari 2021 s.d. bulan Maret 2022. Sehingga terjadi perbedaan tempus delicti antara hasil penyelidikan/penyidikan dengan tempus delicti pada Surat Dakwaan," jelasnya.

Ketidaksesuaian tempus delicti  ini mencerminkan Tim JPU telah tidak cermat dalam merumuskan Surat Dakwaan, karena tidak sesuai dengan fakta hasil penyidikan. 

"Ketidaksesuaian tempus delicti, mengindikasikan  bahwa perkara ini ditangani secara tidak cermat dan sembrono," tegasnya.

Selain itu, penetapan tersangka terhadap Pierre Togar Sitanggang, Tidak sah karena tidak didukung alat bukti yang dapat membuktikan adanya kerugian keuangan/perekonomian negara. 

Berdasarkan Laporan Hasil Audit BPKP Nomor: PE.03/SR-511/D5/01/2022, Tanggal 18 Juli 2022 (“Laporan BPKP”) dan Laporan Kajian Analisis Keuntungan Ilegal dan Kerugian Perekonomian Negara Akibat Korupsi di Sektor Minyak Goreng dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Tanggal 15 Juli 2022 (“Laporan Analisis FEB UGM”), yang disebutkan dalam Surat Dakwaan, diketahui bahwa ternyata Penyidik pada Kejaksaan Agung RI baru memiliki alat bukti untuk membuktikan adanya kerugian keuangan/perekonomian negara pada bulan Juli 2022. 

"Sementara penetapan Tersangka terhadap Pierre Togar Sitanggang, S.E., M.M., SUDAH DILAKUKAN pada tanggal 19 April 2022 melalui Surat Penetapan Tersangka, JAUH SEBELUM DIBUKTIKANNYA KERUGIAN KEUANGAN/PEREKONOMIAN NEGARA yang menjadi unsur delik tindak pidana korupsi sebagaimana disangkakan/didakwakan terhadap Terdakwa," jelasnya.

Padahal berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 tertanggal 25 Januari 2017 (“Putusan MK No. 25/2016”), delik tindak pidana korupsi baik yang dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) maupun Pasal 3 UU Tipikor, telah menjadi delik materil, yang harus dibuktikan terlebih dahulu akibatnya. 

Dalam hal ini, lanjutnya, sesuai pertimbangan Mahkamah Konstitusi pada Putusan MK No. 25/2016, Penyidik pada Kejaksaan Agung RI harus terlebih dahulu MEMBUKTIKAN adanya kerugian keuangan/perekonomian negara yang nyata (actual loss) dalam peristiwa penerbitan Persetujuan Ekspor periode Februari-Maret 2022, SEBELUM BISA MENETAPKAN TERSANGKA," tegasnya. 

"Maka menjadi JELAS dan TERANG bahwa penetapan Tersangka terhadap Pierre Togar Sitanggang, S.E., M.M., PADA TANGGAL 19 April 2022 melalui Surat Penetapan Tersangka, TIDAK SAH dan MELANGGAR HUKUM ACARA PIDANA, karena Tidak  DIDUKUNG ALAT BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP yang dapat membuktikan adanya kerugian keuangan negara/perekonomian negara yang nyata atau aktual. 

JPU juga menguraikan tidak direalisasikannya distribusi minyak goreng dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) sesuai dengan yang menjadi kewajiban Grup Musim Mas, telah mengakibatkan terjadinya kelangkaan dan gejolak kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri. 

"Hal ini bertentangan dengan uraian JPU sebelumnya yang menyatakan bahwa kelangkaan dan gejolak harga minyak goreng di dalam negeri sudah terjadi sejak oktober 2021," jelasnya.

Sebaliknya, jika permasalahan kelangkaan dan gejolak kenaikan harga minyak goreng pada periode Januari-Maret 2022 sebagaimana dalam perkara a quo, dituntut dengan menggunakan delik tindak pidana korupsi terkait penerbitan PE, maka dapat dikatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum TELAH MEMPERSEMPIT atau MELOKALISIR penegakan hukum hanya kepada pelaku usaha yang melakukan ekspor CPO. 

"Itu pun terkesan Tebang Pilih, karena dari 324 PE yang telah diterbitkan untuk 89 perusahaan pada periode Februari-Maret 2022, hanya 3 grup perusahaan yang dipermasalahkan penerbitan PEnya oleh Kejaksaan Agung RI, sedangkan 71 perusahaan lainnya tidak pernah diperiksa," tegasnya. 

Padahal sistem dan tata cara yang diterapkan berlaku sama untuk semua pelaku usaha dalam pelaksanaan DMO dan penerbitan PE.

Sehingga penerapan delik tipikor pada permasalahan a quo, akan membatasi penegakan hukum terhadap pihak-pihak lain yang justru harus dituntut untuk bertanggung jawab atas kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri, karena tidak mau menyalurkan atau menahan distribusi CPO dan/atau minyak gorengnya di dalam negeri, mengingat adanya kebijakan penerapan Harga Eceran Tertinggi (HET) dari pemerintah saat itu yang nilainya memang di bawah harga keekonomian dan juga tidak terikat kewajiban DMO sebagaimana pelaku usaha yang melakukan ekspor.

"Sehingga melalui uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Jaksa Penuntut Umum telah keliru dalam mendakwakan pasal pidana kepada Terdakwa," tambahnya.

Ketidak cermatan JPU juga terlihat dalam Surat Dakwaannya yang merupakan delik yang telah diatur secara khusus dalam UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

Di mana, baik dalam Dakwaan Primair maupun Dakwaan Subsidairnya, telah dijelaskan bahwa permasalahan penerbitan PE CPO dan produk turunannya, yang kemudian menjadi perkara dugaan tindak pidana korupsi a quo, dilatarbelakangi adanya kondisi kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng di Indonesia, yang mulai terjadi sejak sekitar Oktober 2021.  

"Sesuai asas lex systematische specialiteit yang berlaku dalam hukum pidana, apabila suatu dugaan tindak pidana diatur dalam dua UU khusus (lex specialis), harus diterapkan UU yang lebih sistematis. Semua perbuatan yang menyimpangi aturan tentunya diartikan sebagai perbuatan yang melawan hukum, tetapi tidak semua dapat diartikan sebagai perbuatan koruptif," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: