Sejumlah tokoh masyarakat dan cendekiawan mendukung kebijakan kenaikan harga bahan bakar bersubsidi. Berharap bantuan sosial meringankan beban masyarakat.
Kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi mendapat dukungan dari sejumlah tokoh masyarakat dan cendekiawan. Mereka memahami keputusan pemerintah menaikkan harga jual BBM bersubsidi jenis Pertalite dan Solar masing-masing menjadi Rp 10.000 dan Rp 6.800 per liter.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Yahya Cholil Staquf atau akrab disapa Gus Yahya memaklumi kebijakan pemerintah tersebut.
"Kebijakan kenaikan harga BBM merupakan merupakan pilihan sulit di tengah situasi pelik ini. Kami memaklumi mengapa pemerintah menaikkan harga BBM," ujarnya, Jumat, 9 September 2022.
Menurut Yahya, pemerintah harus mengambil keputusan keputusan menaikkan harga BBM agar maka keadaan menjadi semakin lebih sulit. Dalam situasi sulit seperti sekarang, kata dia, NU harus ikut membantu pemerintah mengatasi persoalan bangsa. "Caranya, kami harus bantu meringankan beban dengan tidak menambah beban pemerintah," tuturnya.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo mengumumkan kenaikan harga BBM pada Sabtu, 3 September 2022. Pemerintah akan mengalihkan subsidi bahan bakar menjadi bantuan tepat sasaran. Kenaikan harga akibat pembengkakan subsidi pada tahun ini.
"Anggaran subsidi dan kompensasi BBM pada 2022 meningkat tiga kali lipat dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun dan akan meningkat terus," ujar Jokowi.
Jokowi mengakui keputusan menaikkan harga BBM bersubsidi adalah pilihan terakhir pemerintah. Subsidi bahan bakar akan dialihkan untuk bantuan tepat sasaran.
Dukungan memangkas subsidi bahan bakar dengan menaikkan harga BBM juga disuarakan mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra. Menurut dia, kenaikan harga BBM bersubsidi untuk mengurangi beban subsidi energi dalam APBN tidak dapat dihindari.
“Kenaikannya jangan sekaligus agar tidak terasa. Kalau naiknya langsung banyak, nanti masyarakat yang terkejut," kata Azyumardi.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani, memahami kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Menurut dia langkah ini dilakukan untuk menekan pembengkakan subsidi dalam APBN karena berdampak kepada defisit anggaran. "Sehingga mau tidak mau harga BBM itu harus naik,” kata dia.
Menurut dia, kenaikan harga dinilai sebagai kebijakan tepat karena mayoritas pengguna BBM bersubsidi adalah kalangan mampu. “Kalangan industri juga banyak menggunakan BBM bersubsidi bahkan rumah tangga mampu,” ungkapnya.
Saat ini, kata Aviliani, adalah waktu yang tepat mengembangkan energi baru dan terbarukan (EBT). "Ini pelajaran buat pemerintah bahwa untuk menangani hal ini kita harus mempersiapkan diri untuk mengarah ke EBT atau pindah ke gas atau ke mikrohidro,” tuturnya.
Dia menyarankan subsidi BBM lebih tepat diberikan kepada orang yang membutuhkan ketimbang barang. “Hal ini untuk mencegah terjadinya moral hazard,” ujarnya.
Subsidi barang seperti BBM, lanjut Aviliani, cenderung disalahgunakan karena minimnya pengawasan. Kondisi ini menyebabkan kuota BBM bersubsidi dari 23 juta kiloliter membengkak menjadi 29 juta kiloliter.
Adapun ekonom Universitas Indonesia, Berly Martawardaya, menyebutkan pemanfaatan BBM bersubsidi selama ini belum sesuai dengan prinsip keadilan. Selama ini konsumsi bahan bakar bersubsidi didominasi masyarakat mampu.
"Konsumsi BBM didominasi masyarakat mampu, 80 persen pertalite dan 95 persen solar dikonsumsi oleh kelompok masyarakat mampu, sehingga tidak sesuai dengan prinsip distribusi dan keadilan," ungkap Berly.
Dukungan kepada pemerintah menaikkan harga BBM juga diungkapkan Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda (GP) Ansor, Yaqut Cholil Qoumas. “Kebijakan menaikan harga BBM sebagai bentuk keadilan subsidi untuk rakyat,” ucapnya.
Yaqut mengatakan selama ini 70 persen subsidi BBM dinikmati kelompok menengah atas. Sekarang, lanjut dia, pos subsidi tersebut dialihkan kepada kalangan masyarakat bawah.
Menurut Menteri Agama ini, kebijakan pengalihan subsidi BBM merupakan langkah realistis yang harus diambil pemerintah untuk mengurangi beban negara. Pengurangan subsidi untuk BBM diharapkan keuangan negara semakin sehat.
Hal serupa juga ditegaskan Kepala BIN, Budi Gunawan, “Pemerintah mengantisipasi ketidakpastian geopolitik global yang berdampak pada ancaman pangan dan energi melalui pengalihan subsidi BBM”. Dengan APBN yang sehat dan kuat, pemerintah memiliki ruang untuk melindungi kelompok terbawah.
Intelijen ekonomi BIN memprediksi situasi global masih belum akan pulih dalam waktu dekat. “Melalui bantalan sosial yang disiapkan pemerintah, kelompok terbawah masyarakat akan terlindungi dari gejolak harga pangan dan energi dunia yang fluktuatif.”, tambahnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui subsidi komoditas seperti BBM paling banyak dinikmati kelompok pemilik kendaraan. Anggaran subsidi membengkak seiring dengan kenaikan harga minyak dunia. Menurut dia, dengan patokan harga minyak US$ 95-100 per barel jumlah subsidi BBM dan listrik yang harus disediakan negara sebesar Rp647 triliun atau Rp653 triliun.
Menurut dia, untuk menciptakan keadilan subsidi ratusan triliun rupiah tersebut lebih diberikan kepada kelompok ekonomi terbawah di Indonesia. Saat ini tercatat sebanyak 20,67 juta jiwa berada dalam kelompok miskin dan 16 juta pekerja berpendapatan rendah atau di bawah Rp 3,5 juta per bulan. “Jumlah ini mendekati 50 persen masyarakat yang dalam posisi ekonomi terbawah," ujarnya.
Pemerintah mengalokasikan bantuan sosial sebesar Rp24,17 triliun dari pengalihan subsidi BBM untuk bantuan sosial. Sri Mulyani mengatakan ada tiga jenis bantuan yang akan diberikan. Pertama, bantuan langsung tunai (BLT) untuk 20,65 juta kelompok masyarakat sebesar Rp150 ribu sebanyak empat kali, dengan total anggaran Rp12,4 triliun.
Kedua, bantuan subsidi upah sebesar Rp600 ribu kepada 16 juta pekerja dengan gaji maksimum Rp3,5 juta per bulan. Bantuan dibayarkan satu kali dengan anggaran Rp9,6 triliun.
Ketiga, bantuan pemerintah daerah dengan menggunakan dua persen dari dana transfer umum yaitu dana alokasi umum dan dana bagi hasil sebanyak Rp2,17 triliun. Bantuan ini untuk membantu sektor transportasi seperti angkutan umum, ojek, nelayan dan bantuan tambahan perlindungan sosial.
Sri Mulyani menyatakan pemerintah masih menganggarkan subsidi BBM pada tahun depan. “Presiden Jokowi telah menyampaikan di dalam nota keuangan RUU APBN tahun 2023 itu sudah dicadangkan senilai Rp336 triliun untuk subsidi BBM,” ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: