Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Korupsi Minyak Goreng dan Beban Pembuktian

Korupsi Minyak Goreng dan Beban Pembuktian Kredit Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Warta Ekonomi, Jakarta -

Praktisi hukum Dr. Hotman Sitorus, S.H., MH mengatakan, umumnya korupsi terjadi dalam dua perbuatan yaitu suap atau pengadaan barang dan jasa.

Jika kemudian ada korupsi selain dari dua perbuatan tersebut maka perlu dikritisi atau dicermati basis hukumnya.

“Hal ini bukan karena tidak mendukung pemberantasan korupsi, tetapi karena alasan ketaatan terhadap prinsip hukum. Benar ya benar salah ya salah. Hukum adalah hukum. Hukum bukan politik. Maka kebenaran penegakan hukum haruslah dikritisi atau diawasi, jangan sampai terjadi kesalahan penegakan hukum," kata dia.

Menurut Hotman, tuduhan korupsi karena kelangkaan minyak goreng semestinya tidak terjadi karena tidak ada suap dan tidak ada pula pengadaan barang atau jasa.

Seperti diberitakan media, Kejaksaaan Agung telah menetapkan lima terdakwa korupsi dalam kasus minyak goreng dengan jabatan yang berbeda-beda dan perusahaan yang berbeda pula.

Hotman menjelaskan, tiga unsur korupsi adalah pebuatan melawan hukum, kerugian keuangan negara, dan memperkaya diri sendiri atau orang lain.

"Tanpa ada pebuatan melawan hukum, tanpa ada kerugian keuangan negara, dan tanpa ada memperkaya diri sendiri atau orang lain juga tidak ada korupsi,” jelasnya.

Menurutnya, ketiga unsur haruslah diuraikan secara jelas dan terang dan kemudian dibuktikan di depan pengadilan.

Hotman menambahkan, kebijakan DMO dalam pengurusan Persetujuan Ekspor (PE) CPO sebagai pemenuhan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) yang berujung dengan tuduhan korupsi merupakan kesalahan dan tidak serta merta pelaku usaha disalahkan karena pelaku usaha hanya mengikuti ketentuan pemerintah terutama terkait dengan pengurusan persetujuan ekspor.

Menurut Hotman, sejatinya tuduhan korupsi dalam kasus minyak goreng yang dianggap melanggar ketentuan Pasal 25 dan Pasal 54 ayat (2) huruf a, b, e, f Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan tentu dipertanyakan cara memahaminya.

“Karena pasal tersebut sebenarnya mengatur pengendalian barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting yang menjadi tugas pemerintah dan pemerintah daerah untuk pengendalian ketersediaan barang di seluruh wilayah NKRI dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik, dan harga yang terjangkau,” tegas Hotman.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: