Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pancasila: Referensi Nilai Tertinggi Landasan Hukum di Indonesia

Pancasila: Referensi Nilai Tertinggi Landasan Hukum di Indonesia Kredit Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Warta Ekonomi, Jakarta -

Nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia harus mendapatkan perhatian khusus. Berbagai bentuk intervensi membuat nilai Pancasila semakin luntur sebagai cita negara, dan cita hukum nasional. Saat ini berbagai upaya perlu dilakukan guna memperkuat Pancasila sebagai dasar hukum negara sekaligus diinternalisasi dalam proses penyusunan kebijakan dan kehidupan bermasyarakat di Indonesia. 

Mendorong pemahaman Pancasila sebagai dasar bangsa dan negara melalui aspek hukum menjadi salah satu tujuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyelenggarakan seminar bertajuk Pendidikan Hukum dan Pancasila, Kamis (20/102022) di Kampus UI, Depok. Seminar ini merupakan rangkaian acara menuju satu abad Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH-UI) yang merupakan sekolah tinggi hukum tertua di Indonesia. Seminar ini diselenggarakan sebagai bagian rangkaian seminar peringatan Dies Natalis FH-UI.

“Seminar ini bertujuan untuk menggali kembali pengetahuan Pancasila sebagai bangsa dan dasar pendirian, serta cita negara, dan cita hukum yang khas. Kedua, mensistematiskan Pancasila dalam bidang kajian yang otonom, dan mempersiapkannya dalam kurikulum pendidikan tinggi hukum, bahkan ke segala jenjang masyarakat. Ketiga mencoba menyikapi fenomena perubahan dunia yang berpengaruh signifikan terhadap Indonesia,” ungkap Ketua Pusat Kajian Hukum (Puskakum) FH-UI Supardjo Sujadi saat memberikan sambutan. 

Wakil Dekan FH-UI Parulian Paidi Aritonang menambahkan, reposisi Pancasila sebagai dasar hukum negara juga menjadi sangat penting kini. Sebab, tidak dapat dihindari pascareformasi, Indonesia telah masuk ke era dimana masyarakatnya dimungkinkan untuk berinteraksi dengan berbagai nilai karena arus informasi yang beragam. Hal ini juga berpotensi bangsa perlahan kehilangan jati diri. Kesatuan bangsa kerap diancam oleh polarisasi politik, oligarki ekonomi dan interaksi berbagai informasi yang jauh lebih sering. Sementara itu, keadilan sosial dan agama juga menjadi bahan pertengkaran dan olok-olok. 

Try Sutrisno, Wakil Presiden Indonesia keenam sekaligus Dewan Pembina Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), yang turut memberikan kuliah umum dalam seminar tersebut, sepakat. Pascarefomasi, terutama karena banyaknya cendikiawan yang baru pulang dari luar negeri, membawa semangat liberalisme dan kapitalisme yang secara tak sadar semakin mengerdilkan Pancasila.

“Anasir-anasir ini kerdil yang berpandangan bahwa gagasan dari luar negeri lebih baik dari kearifan lokal bangsa sendiri. Mereka tidak sadar bahwa nilai yang mereka bawa telah menggerogoti dan menggerus jati diri bangsa sebagai satu-satunya hak milik bangsa yang paling berharga,” ungkapnya. 

Ia turut menjelaskan bagaimana hanya dalam empat tahun pascareformasi, UUD 1945 empat kali dilakukan amandemen. Aksi ini dinilai Try makin turut membuat sirna tujuan nasional untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi bangsa dan negara sesuai Pancasila. Era reformasi juga memang memberikan prakondisi untuk  nilai asing bersentuhan lebih sering dengan ke dalam tubuh bangsa.

“Menghadapi situasi ini, ada dua pilihan: diam saja, kehilangan jati diri; atau bangkit untuk memperkuat kembali jati diri. Di sinilah arti penting pendidikan, dan penggemblengan generasi penerus bangsa menghadapi tantangan masa depan. Bagaimana dapat diisi wawasan kebangsaan, perjuangan, dan kebudayaan,” sambung Try. 

Ketua DPD RI AA Lanyalla M. Mattalitti juga menyuarakan hal serupa. “Pada era reformasi, penghayatan Pancasila harus kembali diperkenalkan dengan metode yang terkini. Menurut Ki Hajar Dewantara, anak-anak didik ini sangat perlu diajar ihwal kebangsaan dan nasionalisme,” kata Lanyalla yang juga menjadi pembicara kunci dalam seminar. 

Usai para pembicara kunci memberi pemaparan, digelar pula diskusi panel dengan pembicara mantan anggota DPR dan MPR RI Yoseph Umarhadi, Peneliti Puskakum FH-UI dan Dosen Tetap FH-UI Bono Budi Priambodo, dan Yu Un Oppusunggu, serta pendiri dan Ketua Yayasan Tirta Amarta Paripurna Muhamad Iqbal. Dalam diskusi panel tersebut, para pembicara sepakat soal pentingnya penghayatan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila masih sangat relevan dan tak lekang oleh zaman.

Selain itu, turut pula dipaparkan hasil Survei Nasional terkait Pancasila yang dilakukan Puskakum FH-UI. Kris Wijoyo Soepandji, peneliti Puskakum FH-UI dan Dosen Tetap FH-UI ini memaparkan hasil survei yang membedah apakah Pancasila masih diakui sebagai landasan kehidupan bermasyarakat di Indonesia, serta menjadi pedoman dalam menjaga kepribadian nasional. Dalam temuan survei, Kris memaparkan bahwa masyarakat memang makin minim frekuensinya untuk mendengar kata-kata Pancasila. 

“Sebanyak 56% mayoritas responden hanya mendengar Pancasila pada bulan tertentu, seperti Hari Lahir Pancasila pada Juni, atau Hari Kemerdekaan Indonesia pada Agustus. Meski demikian, 90% responden menyatakan bahwa Pancasila masih sangat relevan sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Hal yang juga menarik dari survei ini adalah temuan yang menyampaikan bahwa sebanyak 98% lebih responden percaya bahwa pemimpin di Indonesia perlu memegang teguh nilai-nilai Pancasila. Masyarakat sangat mendambakan pemimpin Indonesia yang mampu merefleksikan berbagai kebijakan dan prosesnya sesuai dengan nilai- nilai Pancasila melalui peraturan yang mengedepankan keadilan dan mengutamakan kepentingan rakyat. Hal ini tentunya berkaitan erat dengan tidak lepasnya posisi para pembuat kebijakan dari berbagai pengaruh dan tekanan eksternal. Lebih daripada itu masyarakat tetap mendambakan pemimpin yang mampu mengambil sikap yang bijaksana dalam proses pengambilan keputusan-keputusannya.

Harapan mayoritas masyarakat terhadap Pemimpin yang Pancasilais juga dikonfirmasi melalui temuan yang menyebutkan bahwa sebanyak 90% responden menolak adanya intervensi asing terhadap kebijakan pemerintah Indonesia,” papar Kris.

Hasil survei ini turut menunjukkan bahwa Pancasila sejatinya masih dapat menjadi pijar bagi Indonesia ditengah perjuangannya menjadi pemimpin di kancah global. Sehingga perlu satu padu dalam pengembangan Pancasila sebagai cakrawala dalam pertumbuhan ilmu hukum, salah satunya melalui kajian-kajian baru oleh para mahasiswa Fakultas Hukum. Melalui upaya ini nilai-nilai Pancasila tidak akan tertinggal dan makin terinternalisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang juga tercermin dalam proses penyusunan kebijakan para pemimpin negara sebagai tauladan masyarakat luas.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: