WE Online, Jakarta - Inovasi bukan untuk semua!
Ya, inovasi mulai kehilangan maknanya sekarang ini. Sebagian melihat inovasi sebagai bentuk upaya perbaikan kinerja perusahaan saja. Ada yang melihat inovasi sebagai bentuk kreativitas perusahaan untuk sekadar tampil beda. Sekarang ini, siapa pun dapat mengklaim bahwa perusahaannya sudah berinovasi. Asal berubah, sudah dianggap berinovasi.
Sekarang lihatlah perusahaan-perusahaan inovatif kelas dunia. Semuanya adalah penyintesis teknologi terkini (BCG, 2014). Dengan teknologi termaju, perusahaan penginovasi dengan leluasa menawarkan nilai yang tinggi buat masyarakat penggunanya. Inovasi yang ditawarkan bukan lagi inkremental, melainkan terobosan yang tidak terpikirkan dan terimajinasikan masyarakat pengguna. Inilah definisi inovasi yang sulit untuk direalisasi kebanyakan pelaku bisnis. Ada kesuksesan finansial, penciptaan nilai yang tinggi buat pengguna, penggunaan teknologi terkini, dan inovasi yang menawarkan terobosan (De Meyer dan Garg, 2005).
Melihat definisi inovasi yang begitu tinggi, masih adakah pintu-pintu kesempatan bagi pelaku bisnis di Tanah Air untuk tampil di panggung inovasi dunia?
Lemahnya Sektor Riil
Menjadi penginovasi memang belum jadi pilihan utama kebanyakan pelaku bisnis di Tanah Air. Silakan bertanya kepada pemimpin perusahaan, apakah mereka menempatkan inovasi sebagai prioritas utama dalam strategi perusahaan? Apakah mereka serius dan berkomitmen untuk belanja R&D yang tidak murah? Apakah perusahaan disiapkan untuk menjadi pemberi solusi andal atas problem-problem masa depan? Apakah eksplorasi terhadap “what’s next” sudah menjadi denyut nadi perusahaan? Sepertinya belum.
Kemudian yang menjadi pilihan pelaku bisnis di sini pun menjadi jelas. Dikaruniai sumber daya alam yang melimpah, eksploitasi kekayaan tersebut menjadi model bisnis yang terus dijalankan. Barang-barang komoditas berbasis sumber daya alam berupa bahan mentah, barang setengah jadi, atau yang rendah nilai tambah masih menjadi produk andalan ekspor Indonesia. Patut disyukuri memang, ekonomi nasional masih tetap bergerak dari produk-produk komoditas ini.
Namun, ekonomi Indonesia adalah ekonomi yang serba bergantung. Faktor eksternal begitu kuat memengaruhi. Naik turunnya harga minyak dunia, penguatan mata uang dolar Amerika Serikat, serta kebijakan suku bunga The Fed (bank sentral Amerika Serikat) membatasi ruang gerak pelaku bisnis di Tanah Air. Melemahnya nilai tukar rupiah tetap tidak memperbaiki kinerja perdagangan internasional. Bisa dimengerti memang, di sektor manufaktur, untuk menghasilkan produk ekspor, masih diperlukan impor komponen yang tidak kecil. Di sisi lain, barang-barang komoditas hasil sumber daya alam yang selama ini jadi andalan juga tidak bagus kinerja perdagangannya.
Sementara itu, di sisi konsumsi, tidak dimungkiri masyarakat kita, terutama menengah ke atas, adalah masyarakat konsumtif. Silakan cek apa yang dikonsumsi atau digunakan sehari-hari. Mulai dari kendaraan bermotor, jam tangan, smartphone, laptop, hingga makanan, sebagian besar adalah produk impor. Di sinilah problem fundamental ekonomi kita, terlalu banyak mengonsumsi produk impor yang bernilai tambah tinggi, tetapi memproduksi komoditas bernilai tambah rendah.
Penulis: Ade Febransyah, Ketua Center for Innovation Opportunities & Development, Prasetiya Mulya Business School
Sumber: WE-01/XXVII/2015
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait:
Advertisement