Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Jangan Lakukan Transisi Energi dengan Solusi Semu dan Solusi Palsu

Jangan Lakukan Transisi Energi dengan Solusi Semu dan Solusi Palsu Foto udara aktivitas bongkar muat batu bara terlihat di kawasan pantai Desa Peunaga Cut Ujong, Kecamatan Meureubo, Aceh Barat, Aceh, Kamis (9/12/2021). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan harga batu bara acuan pada Desember 2021 sebesar 159,79 dolar AS per ton atau turun 55,22 dolar AS jika dibandingkan harga batu bara bulan November yang mencapai 215,01 dolar AS per ton. | Kredit Foto: Antara/Syifa Yulinnas
Warta Ekonomi, Jakarta -

Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah, Adhityani Putri mengatakan sebagian besar masyarakat yang peduli terhadap lingkungan meminta pemerintah tidak memberikan solusi semu dan solusi palsu dalam masa transisi energi

Solusi semu adalah solusi yang dianggap belum terbukti dari sisi nilai ekonomi dan aspek teknisnya, tetapi sudah menjadi strategi andalan.

Baca Juga: Transisi Energi Harus Mencakup Dua Hal Ini

"Solusi palsu artinya solusi yang dianggap memiliki konsekuensi negatif pada upaya penekanan emisi di jangka panjang. Biasanya solusi yang punya dampak terhadap lahan dan hutan atau dia bersifat memperpanjang umurnya industri fosil," ujar Adhityani dalam diskusi virtual, Sabtu (19/11/2022). 

Sebagaimana diketahui, transisi energi dilakukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca atau biasa disebut dekarbonisasi. Namun menurut sebagian besar masyarakat pencinta lingkungan transisi energi tidaklah cukup hanya mengurangi emisi karbon saja. 

Baca Juga: Keterjangkauan dan Pembiayaan Jadi Masalah Utama Transisi Energi

Adhityani mengatakan mereka memiliki prinsip bahwa dekarbonisasi itu harus mengakhiri umur dari energi fosil hulu sampai hilir karena energi fosil memiliki dampak ekstra luas yang luar biasa di luar dari emisi.

"Karena menggunakan carbon capture yang storage itu tidak bisa diterima oleh mereka. Atau misalnya batu bara bisa dibersihkan secara total dengan kombinasi antara co firing, off shatre, dan juga penggunaan teknologi yang lebih efisien, tetap tidak bisa diterima bahkan sampai hilirisasi batu bara karena sifatnya memperpanjang industri fosil dan itu melanjutkan log in pada infrastruktur fosil yang pada gilirannya kalau terjadi krisis fosil seperti yang melanda Eropa akan sangat mudah bagi Indonesia untuk balik," ujarnya. 

Sementara itu, solusi semu sebenarnya tidak dianggap buruk, tapi banyak keraguan seputar implementasi di Indonesia, akan mahal apa tidak, karena dikhawatirkan ini sudah menjadi strategi andalan di dalam National Determination Carbon (NDC). 

Adhityani melanjutkan hal yang ditolak salah satunya adalah pemanfaatan gas alam di mana gas alam tadi disebut sebagai transision fuel, karena risiko yang terlampau sangat tinggi pada log in dan pada industri fosil hingga membuat umur industri fosil akan lebih panjang lagi. 

Baca Juga: CPI Dukung Percepatan Transisi Energi Indonesia

Kemudian hilirisasi batu bara bukan hanya ekonomi dan teknis tapi juga yang sangat ditolak adalah pernyataan bahwa ini akan memperpnjang tambang batu bara dan industri batu bara secara keseluruhan.

"Co firing biomasa dengan biofuel itu karena konsekuensi dengan lahan, diragukan sekali bahwa ini tidak akan berujung pada deforestasi karena kenyatannya implementasi di lapangan sudah ada indikasi ke arah sana. Dan yang terakhir adalah amonia base generation yang dianggap malah menghasilkan gas rumah kaca yang lebih potensial, yaitu Metan dalam proses produksinya maupun dalam proses pengolahannya dan pembakarannya. Jadi, ini sangat-sangat ditolak oleh mereka," tutupnya. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Ayu Almas

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: