Maraknya istilah transisi energi yang digembor-gemborkan oleh pemerintah maupun institusi dunia untuk dapat mengurangi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh proses pembakaran bahan bakar fosil.
Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah, Adhityani Putri, mengatakan terdapat dua definisi transisi energi yang saat ini beredar, salah satunya adalah phase out atau down dari pemanfaatan sumber energi yang emisinya tinggi atau juga bisa didefinisikan sebagai energi fosil.
Baca Juga: Keterjangkauan dan Pembiayaan Jadi Masalah Utama Transisi Energi
"Kemudian, ada aspek phase in-nya untuk meningkatkan pemanfaatan sumber energi yang emisinya rendah atau pemanfaatan teknologi yang dapat menekan emisi atau bahkan menghilangkan emisi (carbon removal technologies)," ujar Adhityani dalam diskusi virtual, Sabtu (19/11/2022).
Adhityani mengatakan, dalam praktiknya, dua definisi tersebut tidak dilakukan secara beriringan melainkan hanya salah satu saja. Padahal, untuk mencapai definisi secara utuh keduanya harus disandingkan.
Baca Juga: CPI Dukung Percepatan Transisi Energi Indonesia
"Karna kadang penggunaan transisi energi tapi ter-capture-nya hanya 1 sisi, hanya soal EBT atau hanya soal pull phase out. Sesungguhnya, harusnya mencakup kedua aspek ini," ujarnya.
Lanjutnya, urgensi transisi energi tercipta karna menghadapi krisis iklim dan ada kebutuhan untuk menahan kenaikan suhu rata-rata dunia di bawah 1,5 derajat.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Ayu Almas
Tag Terkait: