Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Mengapa Biodiesel Berbasis Sawit Menguntungkan Masyarakat sebagai Konsumen?

Mengapa Biodiesel Berbasis Sawit Menguntungkan Masyarakat sebagai Konsumen? Pekerja menyusun tandan buah segar (TBS) kelapa sawit hasil panen di Desa Berkah, Sungai Bahar, Muarojambi, Jambi, Rabu (2/11/2022). Pemerintah melanjutkan pembebasan pungutan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) per 1 November 2022 sampai harga referensi CPO lebih besar atau sama dengan 800 dolar AS per metrik ton (MT). | Kredit Foto: Antara/Wahdi Septiawan
Warta Ekonomi, Jakarta -

Progam biodiesel dinilai sangat menguntungkan masyarakat sebagai konsumen, bukan hanya bagi produsen. Tidak hanya itu, insentif biodiesel sebenarnya bukan diberikan kepada pelaku usaha, tetapi kepada konsumen. Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute Policy (PASPI) Tungkot Sipayung.

Lebih lanjut dijelaskan Tungkot dalam laman Majalah Sawit Indonesia pada Senin (21/11), pasalnya, harga biodiesel tergantung pada harga CPO dan BBM dunia. Pemerintah setiap bulan telah menetapkan Harga Indeks Pembelian (HIP) solar dan HIP biodiesel. Jika HIP solar lebih murah dari HIP biodiesel, BPDPKS menutupi selisihnya (HIP biodiesel dikurangi HIP solar). Sebaliknya, apabila HIP solar lebih mahal daripada HIP biodiesel (seperti saat ini), tidak ada insentif dari BPDPKS.

Baca Juga: Menutup Pekan II November dengan Harga CPO Tercatat Naik

Tungkot juga menjelaskan, kartel di industri sawit, terutama minyak goreng di Indonesia, secara ekonomi tidak ada karena jumlah pemainnya yang banyak. Perlu diketahui, di Indonesia terdapat sekitar 100 produsen minyak goreng dari skala kecil hingga besar. Dari jumlah tersebut, sekitar 70 produsen menjadi anggota Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI).

Sesuai adagium ekonomi, kata Tungkot, jika ada banyak pemain dalam suatu industri, meskipun mereka didorong untuk melakukan kartel, tetap tidak akan terjadi karena industri akan berjalan sendiri-sendiri. Kondisinya akan berbeda jika pemainnya sedikit, kendati dilarang pun, tetap akan terjadi kartel.

Indikasi lain tidak adanya kartel minyak goreng yaitu persaingan pasar minyak goreng dalam negeri tidak hanya sawit, tetapi juga ada minyak nabati lainnya dari luar negeri, seperti rapeseed dan biji bunga matahari. Selain bahan baku melimpah, terdapat banyak distributor dan pemain di setiap provinsi.

Tungkot menambahkan, tidak ada mafia minyak goreng yang memicu kelangkaan. Hal tersebut terjadi akibat berlakunya Domestic Price Obligation (DPO), yaitu ditetapkannya Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng sebesar Rp14.000 per liter di tangan konsumen. Padahal, ada biaya distribusi dari produsen ke pasar dan tidak sesuai dengan harga CPO yang berlaku sehingga menyebabkan produsen rugi dan memangkas produksinya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: