Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

'PBB Lupa Etika dalam Diplomasi', Kemenlu Tepis Kritikan Tajam Soal KUHP: Jangan Koar-koar di Media

'PBB Lupa Etika dalam Diplomasi', Kemenlu Tepis Kritikan Tajam Soal KUHP: Jangan Koar-koar di Media Kredit Foto: Shutterstock/Barry Tuck

Terkait persoalan zina dan kohabitasi (istilah yang ditujukan kepada pasangan yang tinggal satu atap tanpa ikatan perkawinan), menurutnya, juga sudah tidak ada permasalahan. Hal tersebut sudah ada dalam pasal 284 KUHP yang lama.

Dalam KUHP yang baru, pasal itu merupakan delik aduan yang absolut. Yang boleh mengadu hanya suami atau istri.

Baca Juga: Terkait Pasal Perzinahan KUHP, KSP: Kritik Perlu Diletakkan pada Porsinya

Terkait soal kohabitasi, ia mengatakan, sejak 2021 sampai 2022, pihaknya selalu melakukan dialog publik di hampir seluruh provinsi di Indonesia. Tapi, ada satu provinsi yang dengan tegas menolak pasal ini. Alasannya, pasal ini terlalu masuk ranah pribadi.

Namun, dia bercerita, ketika pihaknya ke Sumatera Barat, masyarakat memprotes Pemerintah. Karena pasal ini dianggap terlalu lemah.

Mereka (Sumbar) tidak mau ini delik aduan. Mereka meminta delik biasa. Dengan alasan, hal itu merusak moral dan bertentangan dengan ajaran Islam. Karena Indonesia adalah mayoritas Islam.

Terkait wisatawan, menurutnya, tidak akan bisa dijerat pasal ini. Menurutnya, saat sepasang wisatawan berlibur ke Indonesia, tanpa terikat perkawinan yang sah, hanya ada dua pihak yang mungkin mengadu. Anak-anak atau orang tua mereka yang notabene tidak berada di Indonesia.

Sebagai informasi, sejumlah kekhawatiran disampaikan PBB dalam pernyataan di website resmi indonesia.un.org berjudul Statement on the new Indonesian Criminal Code. Mereka menilai, KUHP tersebut tidak sesuai dengan kebebasan fundamental dan HAM.

Dalam pernyataan tersebut, PBB menyampaikan kekhawatirannya. Salah satunya, karena beberapa pasal berpotensi mengkriminalisasi kerja jurnalistik dan melanggar kebebasan pers.

Disebutkan dalam pernyataan yang dirilis Kamis (8/12) itu, orang lain akan mendiskriminasi, atau memiliki dampak diskriminatif pada perempuan, anak perempuan, anak laki-laki dan minoritas seksual, dan memperburuk kekerasan berbasis gender, dan kekerasan berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender.

Masih dalam pernyataan yang sama, pasal lainnya berisiko melanggar hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, dan dapat melegitimasi sikap sosial negatif terhadap anggota agama atau kepercayaan minoritas dan mengarah pada tindakan kekerasan terhadap mereka.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: