Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM), Eddy Junarsin mengatakan kinerja dan prospek ekonomi global pada tahun 2023 diperkirakan akan memburuk dengan risiko resesi dan tingkat inflasi tinggi serta diikuti ketidakpastian ekonomi tinggi yang disebabkan oleh volatilitas keuangan global.
Oleh karena itu, diperlukan kebijakan ekonomi makro Indonesia lebih ketat untuk mengatasi dampak resesi tersebut. “Harapannya resesi global tidak terjadi. Mudah-mudahan koordinasi global lebih baik sehingga pemulihan menjadi lebih cepat,” kata Eddy, kemarin.
Eddy menyebutkan rata-rata inflasi negara global mencapai 9,2% dan diharapkan bisa melunak di bawah angka tersebut. Saat ini, kata Eddy, tingkat inflasi negara eropa akibat dampak perang Rusia dan Ukraina mencapai 10% sedangkan Amerika Serikat mencapai 7,1%.
“Negara maju seperti amerika tingkat inflasinya sampai 9%. Sekarang 7,1%. Turun 1 hingga 2,5% saja mereka sangat senang. Eropa sekarang (inflasi) 10%. Indonesia sekitar 5,42% inflasinya, lebih moderat daripada negara maju,” ujarnya.
Sedangkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tumbuh di angka 5,3% rata rata per tahun dalam enam kuartal terakhir menurutnya merupakan prestasi tersendiri, pasalnya Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif dalam dua kuartal di masa awal pandemi lalu.
“Sempat mengalami pertumbuhan negatif, sekarang pertumbuhan menjadi positif. Tentu ini bukan cerminan hasil akhir, sebab berbagai faktor fundamental tidak selamanya kita kuat seperti yang kita bayangkan,” jelasnya.
Meski pertumbuhan ekonomi tinggi dan tingkat inflasi di angka 5%, pemerintah menurutnya tidak lekas berpuas diri sebaliknya tetap waspada terhadap ancaman resesi global. “Dibandingkan negara maju, kita bisa optimis sekali, namun tetap hati hati. Saya kira pemerintah juga berhati hati terlihat dari pernyataan yang disampaikan berulang-ulang oleh Presiden dan menteri-menteri,” katanya.
Soal resesi, Eddy menyampaikan bahwa negara di dunia termasuk Indonesia sudah mengalaminya saat di awal pandemi dimana pertumbuhan hampir seluruh negara menjadi negatif.
Eddy menilai faktor pandemi juga menyebabkan krisis dan resesi yang terjadi pada tahun depan apabila terjadi. Berbeda dengan krisis pada tahun 1998 yang melanda Indonesia yang disebabkan oleh sektor perbankan dan properti. Lalu, krisis pada tahun 2008 disebabkan oleh perbankan di Amerika yang menjalar ke seluruh dunia sehingga yang menyebabkan ekonomi global menjadi lesu.
Baca Juga: Ditekan Ancaman Resesi Global, OJK Pede Kinerja Pasar Modal Terus Bertumbuh
Meski setiap krisis disebabkan oleh berbagai macam faktor, namun solusi yang dilakukan setiap negara dalam menanggulangi krisis hampir sama, yakni bank sentral membeli surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah.
Lalu, dana tersebut digunakan pemerintah untuk mendongkrak agar ekonomi bisa tumbuh kembali. “Bila krisis sudah lewat, selalu ada efek samping. Hampir sama seperti kita bila minum obat. Biasanya yang akan terjadi adalah peredaran uang yang lebih banyak, akan terjadi inflasi dan agak melonjak, seberapa lama kondisi ini terjadi, itu yang perlu diatur,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Boyke P. Siregar
Tag Terkait: