Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pakar Hukum Nilai Aneh Tuntutan JPU soal Uang Pengganti Rp10 Triliun, 'Tak Ada Pertambahan Kekayaan'

Pakar Hukum Nilai Aneh Tuntutan JPU soal Uang Pengganti Rp10 Triliun, 'Tak Ada Pertambahan Kekayaan' Kredit Foto: Unsplash/Tingey Injury Law Firm
Warta Ekonomi, Jakarta -

Tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkait kasus dugaan korupsi izin persetujuan ekspor (PE) minyak sawit atau CPO kepada para terdakwa, dinilai tidak berdasar, terutama penghitungan yang merugikan negara.

Sejumlah pakar hukum mempertanyakan tuntutan yang beragam dari 7 hingga 12 tahun dengan uang pengganti hingga puluhan triliun rupiah.

Pakar hukum pidana, Chairul Huda menyebut tuntutan tersebut hal yang aneh. Menurutnya, uang pengganti itu hanya diterapkan bagi orang yang memperoleh pertambahan kekayaan dari tindak pidana korupsi.

“Jadi bagaimana mungkin mereka dituntut Rp 10 triliun sementara tidak ada pertambahan kekayaan mereka sebesar itu," ujarnya kepada wartawan, Selasa (27/12/2022).

Ia terang menyebut Jaksa melakukan tuntutan tidak berlandaskan hukum. Menurutnya, majelis hakim selayaknya menolak tuntutan tersebut, dan mempertimbangkan semua fakta di persidangan.

Dalam kasus ini, di persidangan lalu, terdakwa Stanley MA dituntut membayar uang pengganti Rp 868.720.484.367,26 (miliar) jika tidak dibayar maka diganti dengan hukuman penjara selama 5 tahun.

Dan, Pierre Togar Sitanggang dituntut membayar uang pengganti Rp 4.554.711.650.438 (triliun) jika tidak dibayar maka diganti dengan hukuman penjara selama 5 tahun dan 6 bulan.

Sedang Master Parulian dituntut membayar uang pengganti Rp 10.980.601.063.037 (triliun) jika tidak dibayar maka diganti dengan hukuman penjara selama 6 tahun.

Di persidangan, JPU meminta hakim menegaskan, jika uang pengganti tersebut tidak dibayarkan maka harta benda milik terdakwa dan korporasi akan disita.

Terhadap tuntutan itu, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar juga menegaskan, tuntutan uang pengganti  itu berbeda dengan ganti rugi. 

“Uang pengganti itu didasarkan pada pethitungan fakta yang riil, pemunculan sebuah jumlah harus didukung dengan bukti dan perhitungan yang riil,  jadi tidak asal memunculkan nominal saja tanpa rasionalusasi yang jelas,” ujarnya.

Sedangkan ganti rugi itu bisa bersifat subjektif, kata dia. Artinya selain kerugian riil juga bisa ditambah dengan potensi, atau "keuntungan yang diharapkan" atau bunga atau kelebihan jumlah jika uang itu dikelola.

“Sehingga jumlahnya bisa sangat subjektif, yakni pokok kerugian plus bunga, nah jika jumlah tuntutan Rp 10 triliun itu ada perhitungannya, maka itu cukup beralasan, tetapi jika asal sebut jumlah saja tanpa rasionalisasinya, maka itu bs dikatakan ngawur,” kata Fickar di kesempatan berbeda.

Sementara, Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak Universitas Indonesia (UI), Prof. Haula Rosdiana juga mempertanyakan dasar tuntutan dan mengkritisi lebih jauh.

Haula menyebut, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 pun disebutkan, kerugian yang terjadi dalam tindak pidana korupsi sulit untuk dibuktikan secara akurat.

Di sisi lain, hingga saat ini belum ada aturan yang mengatur metode penghitungan kerugian perekonomian negara.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: