Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kasus Korupsi Minyak Goreng, Bukan Perkara Pidana Tapi...

Kasus Korupsi Minyak Goreng, Bukan Perkara Pidana Tapi... Kredit Foto: Antara/Nova Wahyudi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Tuntutan kepada tiga terdakwa dari perusahaan dalam kasus minyak goreng dinilai tidak tepat karena seharusnya mengarah kepada pelanggaran administrasi. Apalagi fakta persidangan yang disampaikan saksi ahli dan para pakar menguraikan bahwa program Bantuan Tunai Langsung (BLT) tidak menghasilkan bukan suatu kerugian negara, karena telah dianggarkan dan adalah atas persetujuan DPR secara tahunan.

Sebagaimana dikutip dari pernyataan sejumlah ahli seperti disampaikan Akademisi Universitas Muhammadiyah Jakarta Dr. Chairul Huda menjelaskan bahwa persoalan DMO (Domestic Market Obligation ) merupakan persoalan administrasi karena itu tidak ada dampak kepada kerugian negara. Begitu pula dengan BLT tak ada kerugian negara disana.

“Jika dikatakan BLT merupakan kerugian negara yang pantas dihukum adalah pihak yang menikmati dan melakukan, yakni penerima dan pemberi BLT,” kata Chairul sebagaimana dikutip dari sejumlah media nasional.

Chairul menegaskan tiga terdakwa hanya bertindak mewakili perusahaan. Berdasarkan aspek hukum, pekerja yang bertindak atas nama perseroan akan dilihat apakah tindakannya itu dalam rangka kepentingan pribadi atau tempat dia bekerja. Kalau ada hal-hal yang melawan hukum maka tidak serta merta akan dipertanggung jawabkan secara pribadi.

“Menjadi perbuatan pidana adalah jika ada UU melarang perbuatan itu. Kalau tidak ada, bisa jadi perbuatan itu sebagai pelanggaran administrasi yang hanya bisa diberi sanksi administrasi, dan bukan pidana,” tegasnya.

Sementara itu, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia Dr. Sadino menjelaskan bahwa kebijakan mandatori DMO dan DPO bukan berarti pemerintah bisa menghasilkan produksi minyak goreng yang cepat.

“Di situ dibutuhkan pengolah migornya atau "maklon" yang diserahi tugas untuk memproduksi dengan harga tertentu dan volume tertentu serta nilai rupiah per liter yang dibebankan ke maklon yang diserahi tugas khusus termasuk pembiayaannya,” kata Sadino.

Seperti di bidang BBM, kata Sadino, ada lembaga pengontrol tunggal. Sementara di minyak goreng tidak ada badan pengolah migor khusus oleh negara.

Sadino menjelaskan dengan adanya BLT berarti negara hadir atas kesulitan rakyat dalam menghadapi tekanan ekonomi akibat naiknya berbagai kebutuhan hidup, terutama pangan. Ya kalau itu BLT jadi tindak pidana korupsi, tentu pembuat anggaran BLT bisa jadi salah.

Mulai dari penyusun anggaran BLT, yang menyetujui anggaran BLT, yang menggunakan anggaran BLT, yang menyalurkan anggaran BLT dan yang menerima BLT minyak goreng jadi kena Tipikor.

Berdasarkan fakta persidangan tersebut, praktisi hukum Dr. Hotman Sitorus menyatakan, perkara minyak goreng semakin menemukan titik terang. “Dimana tak ada kerugian negara, yang ada adalah keuntungan. Tidak ada kerugian negara berarti tidak ada korupsi. Sehingga, terdakwa tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas terjadinya kelangkaan minyak goreng. Kebijakan HET adalah biang keladi terjadinya kelangkaan minyak goreng,” kata Hotman.

Menurut Hotman, banyaknya persoalan dalam urusan minyak goreng cukup memprihatinkan. Pelaku usaha mestinya dberikan jaminan untuk berusaha sehingga perekonomian tumbuh dengan baik.

Rizal Malarangeng, Mantan tim Asistensi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian saat menjadi saksi ahli di sidang lanjutan dugaan korupsi minyak goreng di Pengadilan Tipikor Jakarta, membeberkan bahwa BLT dapat membantu mengurangi beban masyarakat kurang mampu, mengerakkan perekonomian masyarakat, mengurangi kemiskinan, dan yang penting tetap menjaga daya beli masyarakat. Sehingga produk yang dihasilkan terserap dan negara bisa mendapatkan pajak dari perputaran ekonomi tersebut.

“Jelas BLT bukan kerugian, tetapi merupakan keuntungan, dimana negara hadir dalam membantu masyarakat meningkatkan taraf hidupnya, mengurangi kemiskinan. Industri berjalan karena produknya terjual dan negara mendapatkan pemasukan dari pajak,” kata Rizal.

Masalah minyak goreng langka, dikatakan Rizal, adanya kebijakan harga eceran tertinggi (HET). Problemnya, karena harga yang ditetapkan jauh dibawah produksi, sehingga pelaku usaha kesulitan untuk memproduksi minyak goreng sesuai dengan harga yang ditentukan pemerintah.

Hal ini karena produsen minyak goreng tidak semuanya memiliki perkebunan sawit sebagai pemasok bahan baku. Rizal berpendapat, kebijakan pemerintah untuk mengendalikan pasar melalui peraturan HET tidak tepat untuk industri minyak goreng.

“Kerbijakan untuk mengendalikan harga tidak tepat dilakukan untuk pasar minyak goreng yang ekosistemnya tidak dapat dikontrol oleh pemerintah, termasuk jalur distribusinya. Ini berbeda dengan kebijakan pemerintah soal harga BBM seperti yang pernah saya alami. Harga BBM dapat dikendalikan karena didukung ekosistemnya, yaitu ada kontrol tunggal pemerintah melalui Pertamina, sedangkan untuk minyak goreng, pemainnya sangat beragam,” ujar Rizal.

Rizal menambahkan, pengendalian harga melalui HET yang jauh di bawah harga produksi memengaruhi pasokan karena produsen juga tidak ingin rugi. Sementara dari segi permintaan, adanya HET membuat konsumen menganggap dapat membeli dalam jumlah banyak dengan pengeluaran yang sama sehingga mengakibatkan permintaan melonjak.

“Tugas pemerintah adalah mencium dimana letak keseimbangannya. Karena pengusaha harus untung agar bisa melanjutkan usahanya dan mengembalikan investasi. Itu petingnya ada mekanisme harga. Kalau dilawan terlalu jauh maka disruptif ekonomi akan cepat dan tidak bisa dikendalikan,” pungkas Rizal.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Boyke P. Siregar

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: