Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Oligarki Ekonomi di Tahun Politik Indonesia 2023

Oligarki Ekonomi di Tahun Politik Indonesia 2023 Foto pemandangan gedung bertingkat di Jakarta, Jumat (10/12/2021). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan realisasi anggaran penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) hingga 3 Desember 2021 mencapai 68,6 persen atau Rp513,17 triliun dari pagu Rp744,7 triliun meningkat diibandingkan kuartal III 2021 sebesar Rp101,18 triliun. | Kredit Foto: Antara/Galih Pradipta
Warta Ekonomi, Jakarta -

Meski kinerja perekonomian nasional terus menunjukkan tren menguat dengan adanya perbaikan pertumbuhan perekonomian yang tidak terlepas dari pemulihan pascapandemi, namun rupanya ekonomi Indonesia masih akan menghadapi berbagai tantangan termasuk ketidakpastian global pada tahun 2023 ini, seperti perlambatan pertumbuhan ekonomi, peningkatan harga pangan, energi, dan inflasi yang berpotensi menyebabkan resesi global.

Melihat pada tantangan yang harus dihadapi Indonesia dalam perjuangannya memperkuat fondasi ekonomi nasional, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Rahmat menyampaikan bahwa akan ada dua peristiwa penting yang akan mulai dihadapi Indonesia pada tahun 2023 ini, antara lain adalah tahun politik yang sudah dimulai dengan membawa berbagai isu-isu dan respon terkait visi ekonomi dan sebagainya, serta dampak resesi global terhadap Indonesia yang mulai diperhatikan.

Setuju dengan pertumbuhan perekonomian Indonesia yang terus tumbuh dengan relatif baik, akademisi dan ekonom senior Prof. Didin S Damanhuri menyampaikan bahwa memasuki tahun politik Indonesia saat ini yang terlah berlangsung sejak 2022 lalu sampai 2024 mendatang, Indonesia telah mengalami oligarki ekonomi, di mana oligarki ini telah bekerja di berbagai sektor termasuk bisnis dan politik tanpa disadari oleh para pelaku dan tidak mustahil jika yang bersangkutan merasa memiliki misi sakral atas nama Pancasila atau yang lain di atas pelaksanaan sistem oligarki ini. Dengan kata lain, oligarki ekonomi subur dalam ekosistem politik yang tidak demokratis.

Baca Juga: Salah Kaprah Soal Ekonomi Keberlanjutan: Dahulukan LST, Bukan Ekonomi

"Belajar dari sejarah di seluruh dunia, oligarki terjadi di mana-mana termasuk di Amerika. Bahwa oligarki akan subur dalam sebuah ekosistem politik yang tidak demokratis. Jadi misalnya saja saya mengatakan bahwa oligarki di tahun politik, kontrol oligarki ekonomi akan makin mengendalikan politik," tutur Didin dalam acara diskusi publik Catatan Awal Ekonomi Tahun 2023 INDEF yang dilaksanakan pada Kamis (5/1/2023).

Didin menjelaskan bahwa terciptanya koalisi "super gemuk" yang terjadi di kabinet (termasuk DPR) itu tidak lepas dari bekerjanya sistem ini dan telah mematikan sistem check and balance sehingga kontrol DPR mendekati zero. Terbukti dengan adanya proses legislasi yang mengabaikan lembaga hukum dan partisipasi publik, seperti yang terjadi pada UU Minerba, UU KPK, UU Ciptaker, UU MK, UU IKN, UU HP, dan Perpu Ciptaker serta pada kasus-kasus seperti kasus minyak goreng, kenaikan harga BBM, KPU yang penuh rekayasa dan kontroversial seperti dalam kasus Partai Ummat, dugaan Pencapresan, dan KPU yang mau mengubah sistem Pemilu tanpa konsultasi DPR dan lainnya, ataupun dengan adanya upaya jabatan Presiden Tiga Periode atau penundaan Pemilu 2024.

"Menurut saya lahirnya berbagai regulasi ini sebagai bukti bekerjanya fenomena oligarki. Mengapa? Karena proses legislasi ini mengabaikan lembaga hukum dan partisipasi publik yang diminta oleh Undang-Undang sendiri," ujar Didin. Ia menambahkan, "itu semua juga ternyata juga telah dijadikan perhatian oleh The Economic Intelligence Unit yang mengatakan bahwa Indeks Demokrasi Indonesia sejak 2016 itu merosot".

Oligarki ekonomi telah memiliki sejarah yang panjang di Indonesia. Pada tahun 50-an, oligarki ekonomi telah menggagalkan "Politik Benteng" dan Demokrasi Parlementer sehingga Pemerintah jatuh bangun dan demokrasi gagal menyejahterakan rakyat. Kemudian pada zaman orde baru, oligarki ekonomi dikontrol Soeharto yang otoriter. Sementara pada era reformasi, meski prosedur demokrasi politik berjalan, namun oligarki ekonomi mengendalikan politik karena substansi demokrasi tidak berjalan.

Pada dasarnya, oligarki ekonomi yang semakin ofensif pada gilirannya akan semakin manjauhkan proses transisi demokrasi politik menuju demokrasi substantif. Oleh karena itu dibutuhkan reformasi mendasar sistem politik yang dapat menjamin tercapainya demokrasi ekonomi karena oligarki ekonomi di era reformasi tumbuh subur sejak oligarki ekonomi dibiarkan menjadi investor politik di semua tingkatan pemilu.

"Saya melihat dari analisis akademis bahwa kawin-mawin oligarki ekonomi dan politik ini memang sudah berkelanjutan sejak tahun 50-an, orde baru, sampai reformasi. Jadi secara akademis dikatakan bahwa embrio adanya oligarki adalah apa yang disebut dengan maraknya pelaku perburuan renteĀ baik di bidang ekonomi maupun politik," terang Didin.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Tri Nurdianti
Editor: Rosmayanti

Advertisement

Bagikan Artikel: