Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

TNI AL Respons Cepat Kapal China yang Seenaknya Mondar-Mandir di Natuna, Pakar: Patut Diapresiasi

TNI AL Respons Cepat Kapal China yang Seenaknya Mondar-Mandir di Natuna, Pakar: Patut Diapresiasi Kredit Foto: Forum Sinologi Indonesia

Menurut Johanes, klaim China atas sebagian ZEE Indonesia di perairan Natuna sebenarnya terkait dengan klaim China di Laut China Selatan, yang dewasa ini ditandai dengan sembilan garis putus-putus (nine-dash line). Menurut keterangannya, klaim China atas pulau-pulau yang bertebaran di Laut China Selatan, setidaknya sebagian, sebenarnya telah muncul sebelum negara RRC berdiri. 

Mengutip Bruce Elleman, penulis buku berjudul China’s Naval Operations in the South China Sea: Evaluating Legal, Strategic, and Military Factors, Johanes menceritakan bahwa pada 1947, pemerintah nasionalis China yang berkuasa telah mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan, yang menurut kalkulasi mereka terdiri dari 162  unit pulau, sebagai milik China. Pemerintah nasionalis juga memproduksi sebuah peta yang di dalamnya terdapat 11 garis putus-putus untuk menandai klaim mereka atas Laut China Selatan. 

Namun menurut Johanes, pada saat itu tidak terdapat ketumpangtindihan wilayah antara China dan Indonesia. Demikian juga setelah RRC berdiri pada 1949. Bahkan hingga saat ini, Indonesia tidak pernah merasa berbatasan langsung dengan China, dan tetap konsisten untuk tidak turut terlibat dalam sengketa di Laut China Selatan. 

Bibit-bibit problema muncul di tahun 1993, ketika China menerbitkan sebuah peta yang di dalamnya mencakup sembilan garis putus-putus. Karena beberapa dari garis-garis di atas menyasar wilayah ZEE Indonesia di perairan dekat Kepulauan Natuna, Indonesia mengajukan pertanyaan kepada China. Jawaban China, yang selalu konsisten hingga dewasa ini, yaitu bahwa Kepulauan Natuna adalah milik Indonesia, dan bahwa China tidak memiliki sengketa kewilayahan dengan Indonesia. 

Namun pada kenyataannya, sebagai disampaikan oleh Mingjiang Li, ahli China yang berbasis di Singapura, pemerintah China beranggapan bahwa ia memiliki kedaulatan yang tak dapat dibantah atas kepulauan di Laut China Selatan, dan perairan sekitarnya. China juga merasa memiliki hak berdaulat dan juridiksi atas perairan, dasar laut, dan kandungan minyak yang relevan di wilayah itu. 

Tampaknya pernyataan “perairan, dasar laut, dan kandungan minyak yang relevan” inilah yang diterapkan China pada perairan yang menjadi bagian dari ZEE Indonesia di dekat perairan Natuna. Menurut Johanes, ini terlihat misalnya, dari pernyataan seorang diplomat Kedutaan Besar China di Jakarta. 

Dikutip dalam sebuah media nasional terkemuka, diplomat yang tak bersedia disebut namanya itu menyatakan bahwa kapal Penjaga Pantai yang memasuki perairan dekat kepulauan Natuna baru-baru ini “masih berada di wilayah yuridis China.”   

Dalam pandangan Johanes, pernyataan di atas, dan berbagai pernyataan Kementerian Luar Negeri China bahwa Indonesia dan China “memiliki klaim yang tumpang tindih terkait hak hak maritim dan kepentingan di beberapa wilayah di Laut China Selatan” membuktikan bahwa China menganggap mereka memiliki hak berdaulat di sebagian ZEE Indonesia di perairan Natuna. 

“Oleh karenannya, penting bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk memahami fakta ini, serta mendukung upaya negara dan pemerintah Indonesia untuk mengawal kedaulatan dan hak berdaulat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di Perairan Natuna, yang kaya akan ikan dan sumber daya energi di bawah laut itu,” pungkas Johanes

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Advertisement

Bagikan Artikel: