Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Jokowi Didesak Copot Mendes Halim Iskandar Buntut Gaduh Wacana Masa Jabatan Kades

Jokowi Didesak Copot Mendes Halim Iskandar Buntut Gaduh Wacana Masa Jabatan Kades Kredit Foto: WE
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sejumlah asosiasi pemerintahan desa Indonesia mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencopot A. Halim Iskandar dari jabatannya sebagai Menteri Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. 

Desakan ini muncul dari pimpinan DPP Apdesi  (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia), DPP Abpednas (Asosiasi Badan Permusyawaratan Desa Nasional), dan DPN PPDI (Persatuan Perangkat Desa Seluruh Indonesia) kepada awak media di Jakarta, Senin (23/1/2023). 

Ketiga asosiasi ini beralasan Menteri Desa Halim Iskandar telah membuat gaduh khususnya masa jabatan 9 tahun. 

"Dalam pandangan kami Bapak Halim Iskandar tidak memahami substansi UU desa secara mendalam, dengan senantiasa memojokkan kepala desa dalam setiap pernyataannya," kata Ketua Umum DPP Apdesi H. Surta Wijaya dalam peryataan sikapnya yang dibacakan bersama Ketua Umum Ketua Umum DPP Abpednas  Indra Utama dan Ketua Umum DPN PPDI Widi Hartono. 

Surta Wijaya mengatakan, Mendes Halim Iskandar tidak menempatkan pemerintahan desa sebagai stakholders utama pembangunan desa. Namun justru kementerian desa dianggap sebagai stakholders utama. 

"Mendes juga senantiasa melemparkan wacana yang meresahkan serta menerbitkan kebijakan- kebijakan yang sesungguhnya tidak sesuai harapan dari Kepala Desa, BPD dan Perangkatnya," sambung Surta. 

Indra Utama menambahkan, selama ini tidak ada upaya dan langkah serius dari Mendes Halim Iskandar untuk mendengarkan keluhan, persoalan yang dialami oleh pemerintahan desa. 

"Kepada Menteri PDTT tidak ada respon dan langkah serius sehingga Apdesi, Abpednas, dan DPN PPDI mengharapkan kebijakan Bapak Presiden agar menempatkan menteri desa yang tidak membangun kesan atau upaya memanfaatkan pemerintah desa dan masuk dalam ranah kepentingan parpol tertentu," jelas Indra.

Sementara Widi Hartono menyampaikan, gagasan tentang perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun berasal dari parpol dan Menteri PDTT Abdul Halim Iskandar. Padahal, perpanjangan masa jabatan kepala desa bukanlah harapan utama dari kepala desa. 

"Tuntutan periodesasi masa jabatan kepala desa, BPD, bukanlah harapan utama dari kepala desa, BPD, maupun organisasi desa. Gagasan masa jabatan 9 tahun lebih pada usulan dari beberapa politisi bahkan gagasan Menteri PDTT," kata Widi. 

Lanjutnya, terkait demo besar-besaran kepala desa pada Selasa, 17 Januari lalu itu dilakukan untuk menuntut dan mengingatkan kepada partai politik agar jangan melempar bola-bola panas jelang Pemilu 2024 untuk merealisasikan janjinya merevisi UU Desa.

Ketiga asosiaso ini meminta wacana revisi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa direalisasikan dengan terlebih dahulu memasukkannya dalam Prolegnas 2023 sebelum masa kampanye Pemilu atau selambatnya bulan Oktober 2023. Jika tak kunjung direvisi, mereka menganggap janji yang digulirkan oleh beberapa partai politik bualan semata. 

"Ini kan janji politik beberapa parpol. Ketika barang ini tidak selesai sebelum Pemilu, maka ini hanya gombal. Ini hanya jadi palsu, PHP. Maka kita mendorong agar revisi itu dilakukan dan masuk Prolegnas 2023," tutur Widi. 

Adapun bila realisasi tidak terlaksana, lanjut Widi, maka DPP Apdesi, DPP Abpednas, dan DPN PPDI, tetap ditegakkan masa jabatan kepala desa dan BPD selama 3 periode. Hal ini sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 6 Tahun 2014. 

Desakan revisi UU Desa juga tak melulu soal perpanjangan masa jabatan kepala desa, melainkan bertujuan untuk menjadikan desa maju dan mandiri. 

Usulan tersebut yaitu meminta agar APBN tahun 2024 memberikan formulasi besaran dana desa sebesar 7-10 % dari APBN atau minimal Rp150 triliun. Peningkatan dana desa akan memberikan manfaat untuk pembangunan desa. 

DPP Apdesi, DPP Abpednas, dan DPN PPDI,menyatakan mendukung segala keputusan yang diambil pemerintah. 

"Nanti yang menggodok kan pemerintah dengan DPR. Kalau pemerintah bersepakat tentu hal ini menjadi sebuah kebijakan yang kita dukung. Ketika pemerintah tidak bersepakat, maka tentu kita ikut pemerintah," tegas Surta. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Sufri Yuliardi
Editor: Sufri Yuliardi

Advertisement

Bagikan Artikel: