Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Bukan Lagi Pengendalian, Revisi PP 109/2012 Malah Dianggap Sebagai Bentuk Pelarangan

Bukan Lagi Pengendalian, Revisi PP 109/2012 Malah Dianggap Sebagai Bentuk Pelarangan Kredit Foto: Annisa Nurfitriyani
Warta Ekonomi, Jakarta -

Rencana pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012) tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan lebih mengarah kepada pelarangan, bukan pengendalian. Hal ini disampaikan oleh  Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, pada acara Diskusi Forum Wartawan Industri (Forwin) bertema “Revisi PP 109/2012, Wujud Nyata Denormalisasi Industri Hasil Tembakau Nasional” di Jakarta, Selasa (14/2).

Henry mengungkap bila revisi PP 109 Tahun 2012 dapat membuat kelangsungan iklim usaha IHT, sebuah usaha yang legal, menjadi semakin restriktif di Indonesia. “Padahal, kalau mengacu kepada ketentuan perundangan-undangan, seharusnya ditekankan pada pengendalian, bukan pada pelarangan,” ujarnya. 

Baca Juga: Gaprindo Minta Pemerintah Tidak Merevisi PP 109/2012: Semua Desakan Kemenkes Sudah Tercantum Kok

GAPPRI pun memberikan dua rekomendasi bagi pemerintah demi menjaga kelangsungan usaha IHT di tanah air. Pertama, menjalankan mandat UUD 1945 sebagaimana Pasal 33 Ayat 4 bahwa perekonomian nasional diselenggarakan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. 

Kedua, harmonisasi regulasi demi kelangsungan IHT dan memberi arah yang jelas bagi seluruh pemangku kepentingan IHT. Saat ini, terdapat lebih dari 446 regulasi yang diterbitkan oleh berbagai kementerian/lembaga baik di pusat dan daerah. Produk hukum tersebut isinya menekan sisi produksi dan sisi konsumsi produk rokok yang legal.

Dari 446 regulasi tersebut berdasarkan kajian GAPPRI, sebanyak 40 (89,68%) terdapat regulasi terkait pembatasan tembakau dan produknya (tobacco control), 41 (9,19%) terdapat peraturan lokal yang mengatur soal cukai hasil tembakau, sementara 5 (1,12%) regulasi mengatur isu ekonomi/kesejahteraan. 

"Jelas sekali terlihat bahwa hegemoni rezim kesehatan kuat memengaruhi kebijakan tata kelola industri hasil tembakau yang legal di Indonesia," tegas Henry. 

Henry pun mengungkap bila PP 109/2012 yang berlaku saat ini masih relevan untuk diterapkan, meskipun pelaksanaannya masih banyak kekurangan. “Pemerintah seharusnya mengutamakan dan memperkuat aspek sosialisasi, edukasi, serta penegakan implementasi,” ucap Henry. 

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wahyudi,menyatakan bahwa PP 109/2012 yang berlaku hingga saat ini masih mumpuni dan sudah tepat dalam mengatur ekosistem pertembakauan dengan baik.

“Poin-poin revisi yang didorong oleh Kementerian Kesehatan secara jelas sudah tercantum dalam PP 109/2012 yang berlaku saat ini,” kata Benny. 

Baca Juga: Perokok Anak Turun Drastis, Masih Perlukah Revisi PP 109/2012?

Menurutnya, PP 109/2012 yang berlaku saat ini telah mengatur berbagai desakan yang dilontarkan oleh Kementerian Kesehatan. Misalnya, Pasal 23 yang telah menyebutkan tentang pelarangan penjualan produk tembakau kepada anak di bawah usia 18 tahun, Pasal 49 yang menjelaskan pengaturan Kawasan Tanpa Rokok, Pasal 31 yang mengatur secara rinci tentang iklan ruangan, Pasal 37 yang mengatur secara ketat terkait merek (brand) ataupun aktivitas produk, serta Pasal 47 yang mengatur terkait sponsorship.

Gaprindo menyarankan, sebaiknya pemerintah melakukan evaluasi komprehensif dengan indikator yang akurat baik di tingkat nasional maupun daerah, sebelum memutuskan untuk melakukan revisi PP 109/2012. “Indikator dan justifikasi revisi regulasi yang saat ini didorong oleh Kementerian Kesehatan perlu ditinjau ulang,” tegas Benny.

"Proses revisi ini tidak sesuai dengan UU 12/2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tepatnya Pasal 96, yang menyebutkan bahwa setiap pembentukan regulasi harus ada proses konsultasi publik dan transparansi di setiap tahap perumusan. Tetapi, kami sebagai pemangku kepentingan utama tidak pernah dilibatkan atau diberi kesempatan untuk memberikan pandangan selama proses revisi ini berlangsung. Hal ini sangat bertentangan dengan komitmen pemerintah dalam mengedepankan transparansi serta menghadirkan iklim usaha yang kondusif dan ramah terhadap investasi,” tutup Benny.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri

Advertisement

Bagikan Artikel: