Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Perokok Anak Turun Drastis, Masih Perlukah Revisi PP 109/2012?

Perokok Anak Turun Drastis, Masih Perlukah Revisi PP 109/2012? Kredit Foto: Unsplash/JJ Shev
Warta Ekonomi, Jakarta -

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat prevalensi merokok di kalangan anak-anak berusia 18 tahun ke bawah terus merosot dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2022, terdapat 3,44% anak berusia 18 tahun ke bawah yang merokok. Presentase ini turun secara konsisten dibandingkan pada tahun 2018 yang bahkan mencapai 9,65%.

Melihat data tersebut, sejumlah pihak menilai rencana pemerintah melakukan revisi Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan sudah tidak tepat lagi. Baca Juga: Sudah Komprehensif, Asosiasi Pekerja Hingga Konsumen Tolak Revisi PP 109/2012

Dengan alasan menurunkan prevalensi perokok anak, rencana revisi beleid yang saat ini diprakarsai Kementerian Kesehatan juga berencana untuk melarang penjualan rokok batangan. 

Menaggapi hal ini, Ketua Umum Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS), dr. Ali Mahsun menyatakan selama ini para pedagang kecil yang menjual rokok sejatinya tidak menjual rokok kepada anak-anak, baik secara batangan atau bungkusan. 

Bahkan, 25 Januari lalu, KERIS bersama 26 kumpulan pelaku ekonomi rakyat dan pedagang mendeklarasikan “Gerakan Nasional Pedagang dan Rakyat Kecil: Rokok Bukan Untuk Anak” sebagai pernyataan sikap sekaligus bentuk nyata partisipasi aktif mereka untuk tidak menjual rokok pada anak.

“Kami sepenuhnya mendukung upaya pemerintah menekan prevalensi perokok anak dan remaja. Oleh karenanya, kami mendeklarasikan ‘Gerakan Nasional Pedagang dan Rakyat Kecil: Rokok Bukan Untuk Anak.’ Di mana seluruh pedagang kaki lima, pedagang asongan, pedagang kelontong, dan teman-teman ekonomi rakyat kecil berkomitmen untuk tidak boleh menjual rokok, baik dengan bentuk batangan atau bungkusan, ke anak-anak,” ujar Ali dalam keterangan resminya di Jakarta, belum lama ini. 

Lebih lanjut, katanya, wacana larangan penjualan rokok batangan memiliki konsekuensi ketidakadilan bagi kondisi ekonomi rakyat kecil. Sebab, banyak pedagang yang bakal terdampak atas kebijakan ini, bahkan berpotensi kehilangan sumber pendapatan. Hal ini dikarenakan banyak pedagang yang memiliki modal kecil dan hanya bisa menjual rokok secara batangan.

Di kesempatan berbeda, pengamat kebijakan, Agustinus Moruk Taek, menjelaskan penyusunan kebijakan di Indonesia selama ini terlalu fokus terhadap fokus hukum dan sering alpa dalam melihat konteks maupun keadilan regulasi. Hal tersebut membuat suatu regulasi tidak tepat guna, karena tidak mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat yang seharusnya mendasari suatu kebijakan. Imbasnya, regulasi yang terbit justru menimbulkan ketidakadilan dan masalah baru. Baca Juga: Wacana Larangan Soal Rokok Ketengan Sulit Direalisasikan, Jokowi Disorot Tajam: Jangan Cuma Kelihatan Sibuk

Dalam studi yang dilakukannya, Agustinus menyimpulkan rencana revisi PP 109/2012 dilakukan tanpa riset yang kuat. “Jadi, apakah PP 109/2012 mendesak untuk direvisi? Jawabannya tidak. Hasil studi memperlihatkan regulasi saat ini masih relevan untuk menekan prevalensi perokok anak,” paparnya.

Alih-alih menjadi solusi, Agustinus menekankan bahwa revisi berpotensi menganggu stabilitas ekonomi dan sosial karena akan menjadi tekanan baru bagi seluruh mata rantai industri tembakau, termasuk para pedagang kecil yang tergolong pelaku UMKM.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman

Advertisement

Bagikan Artikel: