Hegemoni China di dataran tinggi Tibet selama berpuluh-puluh tahun, dinilai menjadi ancaman serius terhadap ketahanan sumber daya air di kawasan Asia Selatan.
Ancaman hegemoni China ini disampaikan oleh Associate Professor Universitas Binus, Dinna Prapto Raharja dalam webinar internasional bertajuk "Fighting for Independence Continues in Tibet Through Chinese Repression", pada Senin (13/2).
Dalam paparannya, Dinna Peapto Raharjo menyoroti sekaligus mengungkap sejumlah pertanda perubahan siklus air, yang terjadi di Tibet setelah dikuasai oleh Beijing.
"Dalam masalah Tibet, selama bertahun-tahun kita telah melihat hilangnya ribuan danau, munculnya gurun, hilangnya gletser, yang diperkirakan akan hilang hingga 50 persen pada tahun 2050," kata Dinna Peapto Raharjo.
Dinna menilai ini China mempercepat risiko bencana tersebut melalui proyek pembangkit listrik tenaga air Beijing, yang mempengaruhi pasokan air di hilir terdekat, yakni Asia Selatan.
"Hilangnya Tibet adalah hilangnya sumber air dunia. China entah bagaimana memiliki perannya dalam mempercepat hal yang terburuk," ungkap Dinna.
Menanggapi hal ini, Dewan Pimpinan Pusat Pelajar Islam Indonesia (DPP PII) menghimbau negara-negara dunia khususnya Indonesia untuk mendesak China untuk menghentikan semua kegiatan eksplorasi sumber daya alam di Tibet.
Wakil Bendahara Umum DPP PII, Furqan Raka mengatakan kegiatan eksplorasi yang dilakukan Tiongkok saat ini, terbukti tidak memperhatikan dampak lingkungan bagi Tibet dan dunia pada umumnya dan murni dilakukan untuk kepentingan dan keuntungan bangsanya sendiri.
"Pertama kami minta Beijing untuk menghentikan seluruh kegiatan eksplorasi sumber daya alam Tibet, yang mereka lakukan secara ugal-ugalan,” kata Furqan Raka kepada wartawan, Rabu, (15/2/2023).
Furqan Raka menyebut China sebenarnya tidak berhak mengeksplore apalagi menjalankan pemerintahan, mengingat dalam catatan sejarah Tibet yang banyak beredar di media massa dan media sosial, diketahui bahwasanya Tiongkok bukan pemilik wilayah tersebut.
Salah satu sejarah yang membukyikan hal tersebut dapat dilihat pada sebuah perjanjian perdamaian formal yang disepakati antara Cina dan Tibet pada tahun 821/823 M, terkait perbatasan antara kedua negara dan memastikan bahwa, "Orang Tibet akan bahagia di Tibet dan orang Cina akan bahagia di Cina,".
"Akan tetapi, pemerintah kekaisaran Tiongkok di Peking terus mengklaim beberapa otoritas atas Tibet,” tutur Furqan Raka.
Tentara kekaisaran Tiongkok mencoba untuk menegaskan kembali pengaruh yang sebenarnya pada tahun 1910, dengan menyerang negara dan menduduki Lhasa Tibet.
Akan tetapi, setelah revolusi 1911 di Tiongkok dan penggulingan Kekaisaran Manchu, pasukan China menyerah kepada tentara Tibet dan dipulangkan di bawah perjanjian perdamaian Sino-Tibet.
Dalai Lama menegaskan kembali kemerdekaan penuh Tibet secara internal dengan mengeluarkan proklamasi dan secara eksternal, dalam komunikasi dengan penguasa asing dan dalam perjanjian dengan Mongolia.
"Dari yang saya baca, hubungan Tibet dengan China justru tetap tegang. Beijing mengobarkan perang perbatasan dengan Tibet untuk mendesak Tibet bergabung dengan Tiongkok dan mengklaim di seluruh dunia bahwa Tibet telah menjadi salah satu dari lima ras Cina," tutur Furqan Raka.
DPP PII juga menerima informasi jika China saat ini telah mendirikan pangkalan militer besar di Tibet dan memaksa biksu agama Tibet yang cinta damai untuk meninggalkan Tibet lalu menghancurkan biara mereka.
Dalam pidato konferensi video terbarunya di PBB, Presiden China mengatakan bahwa mereka adalah negara terbesar di dunia dari segala sudut dan tidak berperang atau bahkan perang dingin dengan siapa pun dan tidak memiliki rancangan ekspansionis.
"Kami meminta negara-negara dunia dan PBB untuk mengambil tindakan tegas terhadap China, agar segera angkat kaki dari Tibet," ucap Furqan Raka.
"Jangan sampai dunia mengalami bencana alam gegara eksploritasi bumi Tibet secara ugal-ugalan oleh China, dan perang dunia akinat ekspansi Beijing yang kian meluas usai mencaplok Tibet," pungkas Furqan Raka.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement