Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Biden dan Sekutu Kuak Rencana Kapal Selam Nuklir buat Australia, Jelas Arahnya ke China Nih!

Biden dan Sekutu Kuak Rencana Kapal Selam Nuklir buat Australia, Jelas Arahnya ke China Nih! Kredit Foto: Reuters/Leah Millis
Warta Ekonomi, Washington -

Amerika Serikat, Australia, dan Inggris meluncurkan rincian rencana untuk menyediakan kapal selam serang bertenaga nuklir kepada Australia mulai awal tahun 2030-an untuk melawan ambisi China di Indo-Pasifik.

Presiden Joe Biden menyebut perjanjian di bawah kemitraan AUKUS 2021 sebagai bagian dari komitmen bersama terhadap kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka dengan dua sekutu AS yang paling kuat dan mumpuni.

Baca Juga: Indonesia Pasang Mata, Ambisi Kapal Selam Nuklir Australia Dibuka Terang-terang, Lihat yang Digandeng!

Biden berbicara dalam sebuah upacara di pangkalan angkatan laut AS di San Diego, Senin (13/3/2023), didampingi oleh Perdana Menteri Australia Anthony Albanese dan Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak.

Di bawah kesepakatan itu, Washington bermaksud menjual tiga kapal selam bertenaga nuklir kelas Virginia buatan AS kepada Australia, yang dibuat oleh General Dynamics, pada awal 2030-an. Opsinya, Canberra dapat membeli dua kapal selam lagi jika diperlukan.

AUKUS akan menjadi yang pertama kalinya Washington berbagi teknologi propulsi nuklir sejak melakukannya dengan Inggris pada tahun 1950-an.

Biden menekankan bahwa kapal selam tersebut akan bertenaga nuklir, bukan bersenjata nuklir

"Kapal-kapal ini tidak akan memiliki senjata nuklir dalam bentuk apa pun," katanya.

Dikatakan bahwa proyek multi-tahap itu akan berujung pada produksi dan pengoperasian kapal selam kelas baru Inggris dan Australia SSN-AUKUS sebuah kapal yang "dikembangkan secara trilateral" berdasarkan desain generasi mendatang Inggris yang akan dibangun di Inggris dan Australia dan mencakup teknologi "mutakhir" AS.

Inggris akan menerima kapal selam SSN-AUKUS pertamanya pada akhir tahun 2030-an, dan Australia akan menerima kapal selam pertamanya pada awal tahun 2040-an. Kapal-kapal itu akan dibangun oleh BAE Systems dan Rolls-Royce.

Sunak menyebutnya sebagai kemitraan yang kuat, untuk beberapa dekade mendatang.

"Untuk pertama kalinya, ini berarti tiga armada kapal selam bekerja sama melintasi Atlantik dan Pasifik untuk menjaga lautan kita tetap bebas ... selama beberapa dekade mendatang," terangnya.

Namun kesepakatan ini disertai dengan tagihan yang cukup besar bagi Australia dengan biaya yang diperkirakan akan mencapai A$368 miliar ($245 miliar) pada tahun 2055.

"Perjanjian AUKUS yang kami konfirmasikan di sini di San Diego merupakan investasi tunggal terbesar dalam kemampuan pertahanan Australia dalam sejarah kami, yang memperkuat keamanan nasional dan stabilitas Australia di kawasan kami," kata Albanese pada upacara tersebut.

Albanese membela pengeluaran tersebut, dengan mengatakan bahwa itu adalah "rencana ekonomi, bukan hanya rencana pertahanan dan keamanan".

Dia mengatakan bahwa dia berharap AUKUS akan menghasilkan A$6 miliar yang diinvestasikan dalam kemampuan industri Australia selama empat tahun ke depan dan menciptakan sekitar 20.000 lapangan kerja langsung selama 30 tahun ke depan.

Albanese pun mengatakan bahwa hal ini akan membutuhkan dana sekitar 0,15% dari PDB per tahun.

China telah mengutuk AUKUS sebagai tindakan proliferasi nuklir yang ilegal. Rencana tersebut "merupakan risiko proliferasi nuklir yang serius, merusak sistem non-proliferasi internasional, memicu perlombaan senjata, dan merusak perdamaian dan stabilitas," demikian ungkap misi permanen Tiongkok untuk PBB dalam sebuah tweet setelah pengumuman tersebut.

Ketika ditanya apakah dia khawatir China akan melihat kesepakatan kapal selam AUKUS sebagai agresi, Biden menjawab "tidak." Dia mengatakan bahwa dia berharap dapat segera berbicara dengan pemimpin China Xi Jinping, tetapi tidak mengatakan kapan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Advertisement

Bagikan Artikel: