Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Program B30 Berdampak terhadap Stabilitas Harga Pangan

Program B30 Berdampak terhadap Stabilitas Harga Pangan Kredit Foto: Antara/Aprillio Akbar
Warta Ekonomi, Jakarta -

Peneliti Senior Traction Energy Asia, Ramda Febrian mengatakan program B30 yang diluncurkan pemerintah berpotensi memiliki dampak terhadap stabilitas harga pangan nasional.

Menurutnya, permintaan Crude Palm Oil (CPO) untuk sektor energi meningkat sebesar 14% per tahun. Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) menunjukkan konsumsi CPO untuk biofuel naik dari 5,83 juta ton pada 2019 menjadi 7,23 juta ton pada 2020.

Di sisi lain, pangsa CPO untuk industri makanan malah turun dari 9,86 juta ton pada 2019 menjadi 8,42 juta ton pada 2020. Hal ini tentu berdampak pada stabilitas harga pangan.

Baca Juga: Biodiesel Berbasis Sawit Mampu Kurangi Impor Solar Ratusan Triliun

Selain itu, tarik-menarik ini juga berimbas pada konflik lahan. Pada 2022, luas perkebunan sawit di Indonesia sudah mencapai 16,8 juta hektare.

Dengan program B50, yang dicanangkan untuk 2025, akan dibutuhkan tambahan lahan seluas 9,29 juta hektare lagi, kondisi tersebut berpotensi terjadinya konflik agraria.

"Angka permintaan (demand) biofuel dalam bingkai transisi energi merupakan salah satu penyebab krisis. Sebagai contoh, pada rentang 2022 lalu Indonesia didera krisis kelangkaan minyak goreng yang cukup berdampak pada masyarakat," ujar Ramda dalam diskusi virtual, Rabu (5/4/2023).

Ramda mengatakan bahwa hal tersebut kontradiktif dengan posisi Indonesia yang merupakan negara produsen CPO terbesar di dunia dengan produksi 47,03 juta ton per tahun.

Di mana angka tersebut merupakan setengah dari angka produksi global, sehingga idealnya Indonesia memiliki suplai minyak sawit yang stabil dan aman. 

"Nyatanya, stok minyak goreng di pasar ritel naik-turun, bahkan sampai benar-benar tidak ditemukan. Harganya pun naik tajam hingga pemerintah harus mengeluarkan minyak goreng bersubsidi untuk masyarakat kurang mampu," ujarnya.

Lanjutnya, meskipun situasi ini telah mereda karena harga internasional sudah turun, akan tetapi potensi dari pergerakan harga minyak goreng yang meningkat tetap masih ada. 

"Dengan asumsi bahwa perkebunan sawit tidak akan ekspansi dan feedstock biodiesel tidak ada diversifikasi, maka krisis seperti tahun 2022 dapat berpotensi terulang kembali," ujarnya.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: