Kuasa Lunak China di Indonesia Jangan Dianggap Remeh, Pakar: Tetap Kritis di Tengah Kegagalannya
China yang berupaya meningkatkan kuasa lunak atau soft power-nya di Indonesia melalui sejumlah cara masih harus menghadapi kegagalan, kata Pengajar senior Program Studi China Universitas Indonesia Dr. R. Tuty Nur Mutia.
"Cara itu melalui diplomasi publik dalam bidang budaya dan akademik, meningkatkan kerja sama dalam bidang akademik dan vaksin, dan memanfaatkan sejarah dengan mengungkapkan kembali memori kedekatan dua bangsa. Ketiganya belum menunjukan hasil yang positif bagi peningkatan citra China," kata Tuty, pada diskusi berjudul "Menakar Ulang Kuasa Lunak Tiongkok di Indonesia: Sebuah Tinjauan Kritis," di Jakarta, Sabtu (20/5/2023).
Baca Juga: Global Security Initiative Ala Xi Jinping Jadi Sorotan, Pakar Minta Indonesia Hati-hati!
Menurut Tuty, China juga menggunakan beberapa strategi lainnya, seperti merangkul umat Islam melalui pemberian beasiswa untuk para santri. Menurutnya strategi ini tak dapat dilepaskan dari upaya China meredam isu hak asasi manusia (HAM) yang menimpa penduduk Muslim di Uighur. Sebagai hasil dari strategi ini, terdapat sebagian alumni China menyuarakan keunggulan China akhir-akhir ini.
Strategi lain yang diungkapkan Tuty adalah pendirian Konfusius Institut (disebut di Indonesia sebagai Pusat Bahasa Mandarin/PBM) yang dalam satu dasawarsa belakangan aktif memberikan beasiswa untuk mempelajari Bahasa Mandarin. Namun berbeda dengan strategi di atas, strategi ini kurang membuahkan hasil.
“Para siswa penerima beasiswa cenderung memanfaatkan PBM hanya untuk penguasaan bahasa agar menunjang studi atau karirnya,” tutur Tuty.
Namun demikian, Tuty mengingatkan agar pemerintah Indonesia mengawasi persebaran dan aktivitas PBM mengingat kurangnya muatan berbasis budaya dan masyarakat Indonesia dalam pengajaran mereka.
“PMB seharusnya memperbanyak muatan lokal dalam materi ajar dan aktivitasnya, sehingga manfaat kehadirannya akan lebih bisa dirasakan,” pungkasnya.
Dalam pandangan Tuty, secara umum upaya China meningkatkan soft power-nya di Indonesia kurang memperoleh hasil maksimal. Menurutnya, salah satu penyebabnya adalah narasi yang digunakan yang hanya memperlihatkan keunggulan China.
“Narasi itu cenderung mengedepankan 'keunggulan' China sehingga lebih terasa sebagai upaya 'sinifikasi' (pencinaan). Selain itu alurnya pun masih cenderung Top-Down,” tutur Tuty.
Sementara itu, Ketua FSI Johanes Herlijanto menyoroti posisi komunitas Tionghoa dalam upaya China meningkatkan soft power-nya di Indonesia.
Ia mengungkapkan bahwa ada upaya China untuk merangkul komunitas Tionghoa untuk kepentingan peningkatan hubungan Indonesia dan China dengan mendorong mereka menjadi jembatan.
Mengutip tulisan Charlotte Setijadi, pemerhati China asal Universitas Pelita Harapan (UPH) itu mengatakan bahwa setidaknya sebagian dari pebisnis Tionghoa, khususnya dari generasi senior, tidak berkebaratan menjalani peran sebagai jembatan bagi hubungan kedua negara.
Namun yang menarik, ketika China ingin merangkul Tionghoa Indonesia lebih dalam lagi, antara lain dengan menekankan hubungan khusus antara Tionghoa dan Tiongkok, sebagian komunitas Tionghoa justru melakukan penolakan.
“Seperti dicatat oleh Profesor Leo Suryadinata dalam berbagai tulisannya, beberapa pengusaha Tionghoa dan kaum muda Tionghoa menolak, bahkan mengkritisi upaya Tiongkok mengingatkan mereka akan hubungan mereka dengan China sebagai ‘negeri leluhur,’” tutur Johanes.
Inilah yang menyebabkan Johanes beranggapan bahwa upaya China menjadikan etnik Tionghoa sebagai bagian kuasa lunaknya akan sulit terwujud, mengingat di kalangan Tionghoa Indonesia, khususnya generasi muda, berkembang narasi yang mengedepankan keindonesiaan mereka.
“Anak anak generasi sekarang lebih suka disebut sebagai Chinese Indonesian atau Chindo,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Muhammad Syahrianto
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait:
Advertisement