Net Zero Waste Consortium menilai industri air minum dalam kemasan (AMDK) perlu lebih jujur dalam penanganan sampah plastik.
Sampah plastik AMDK saat ini tidak hanya berserak di tanah, tapi juga mengalir sampai jauh dari sungai ke laut.
Reputasi Indonesia juga dipertaruhkan karena dicap sebagai salah satu negara penyampah plastik ke lautan terbesar di dunia, setelah Filipina, India, Malaysia, dan China berdasarkan data World Population Review, 2021, kata Net Zero Waste Consortium dalam rilisnya.
"Agak ironis, berdasarkan data tersebut, China dengan penduduk lebih dari 1 miliar membuang sampah plastik ke laut sebanyak 70.707 ton pada 2021. Sebaliknya, Indonesia dengan penduduk yang hanya 275 juta jiwa, bisa membuang sampah plastik ke laut hingga 56.333 ton pada tahun yang sama. Jumlah yang tak terpaut jauh dengan China," kata peneliti Net Zero Waste Consortium.
Ahmad menilai perusahaan produsen tidak tampak upaya maksimal yang dilakukan untuk membantu mengatasi persoalan sampah ini.
"Kecuali hanya gerakan sporadis di permukaan, atau rajin beriklan dengan jargon “tidak menyampah”. Reputasi Indonesia terpuruk di mata dunia sebagai salah satu polutan sampah plastik terbesar di dunia, karena sampah kemasan saset, gelas, sedotan dan botol plastik dibuang di darat, di sungai dan menyampah di laut," kata Ahmad Safrudin
Ahmad juga menilai lobi-lobi industri seolah-olah mereka bersikap menjadi korban regulasi pemerintah,
"Lalu menyalahkan pihak lain, itu artinya penyesatan opini masyarakat dengan sengaja. Dan itu jahat sekali,” katanya.
“Kampanye Greenwashing yang mereka lakukan, kalau dilakukan terus menerus, bisa dianggap jadi kebenaran,” kata Ahmad Safrudin.
"Lobi industri bisa dengan nyaman melindungi bisnis AMDK mereka yang tidak aman dan menyebabkan timbulan sampah tak pernah selesai, bukan cuma berceceran di jalan-jalan tapi juga menggunung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).”
Ahmad merinci secara umum ada lima jenis praktik Greenwashing yang biasa diiklankan oleh produsen yang berbuat seolah-olah pro lingkungan, padahal sebaliknya upaya mereka berbanding terbalik dari apa yang diiklankan ke publik. Kelimanya adalah:
1. Citra ramah lingkungan
Produsen menggunakan produk yang menggunakan gambar, ilustrasi atau foto dedaunan hijau, hewan, kemasan ramah lingkungan dan sejenisnya. Ini adalah praktik Greenwashing Klasik.
2. Label yang menyesatkan
Sejumlah produk tertentu bisa terlihat dilabeli dengan kata “Sudah Disertifikasi”, “100% organik”, dan sebagainya. Tidak ada informasi pendukung untuk membuktikan kebenaran klaim tersebut.
3. Pertukaran yang tak terlihat
Produsen bisa bertindak seolah-olah ramah lingkungan dan kebijakannya berkelanjutan, tetapi pada kenyataannya ada pertukaran yang sangat tidak ramah lingkungan yang sengaja disembunyikan dari mata publik. Contohnya, gencarnya iklan AMDK yang mengklaim tidak menyampah, sementara publik tidak melihat langsung bagaimana sampah plastik produk tersebut bertebaran di tempat pembuangan akhir di darat, sungai dan pesisir.
4. Tidak memberikan informasi apa-apa
Kadang ditemukan pula produk-produk, seperti AMDK salah satunya, yang tidak memberikan informasi sepenuhnya tentang kandungan kimiawi berbahaya pada produk mereka.
5. Berbuat seolah jujur, tapi tetap berbahaya
Ada pula produsen yang klaimnya jujur, tapi produknya tetap berbahaya pada manusia atau lingkungan. Contohnya, produsen yang menjual rokok organik atau sejenisnya.
"Pada intinya, praktik Greenwashing dilakukan dengan mengklaim seolah-olah produk-produk suatu perusahaan ramah lingkungan. Padahal faktanya, produk mereka tidak bermanfaat sama sekali bagi lingkungan. Bahkan berbahaya bagi manusia kalau tersebar di lingkungan tanpa kontrol," jelasnya.
"Di Indonesia, iklan-iklan AMDK yang bertaburan di platform media sosial dan lobi industri gencar melakukan Greenwashing, hingga mengaburkan persoalan riil sampah plasti," jelasnya.
Sementara itu Ketua Asosiasi Pengusaha Sampah Indonesia (APSI) dan Anggota Dewan Pengarah dan Pertimbangan Persampahan Nasional mengatakan dalam operasional sehari- hari, lembaganya membuktikan bahwa sampah kemasan kecil tak punya nilai bagi industri daur ulang.
"Makanya kemasan kecil inilah yang menjadi persoalan sampah sesungguhnya, yang berpotensi tercecer dan menambah timbulan sampah,” kata Saut.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement