Soal Utang Negara, Sri Mulyani Selalu Bandingkan dengan AS, Inggris dan Jerman, Misbakhun: Tidak Apple to Apple
Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menilai selama ini pemerintah belum bisa mendeskripsikan sepenuhnya konsep utang.
Selama ini, kata Misbakhun, yang dicatat dan diakui oleh pemerintah dalam laporan keuangan pemerintah pusat yang terdapat Neraca Keuangan.
"Yang dicatat selama ini dalam setiap ketengan dan penjelasan yang dilakukan pemerintah tentang utang kita belum melewati batas dan belum melanggar ketentuan konstitusi. Harus disampaikan, bahwa konsep itu harus diperbaiki nalar berpikirnya," kata Misbakhun dalam sesi diskusi di INDEF, Rabu (7 Juni 2023).
Ia pun mengkritik pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang selalu mengatakan utang RI masih 39 persen dari PDB, dan membandingkanya dengan utang USA, Inggris, Jerman dan Jepang yang hampir 200 persen terhadap PDB Jepang.
"Perbandingan itu tidak aple to aple dan tidak fair. Karena yang dicatat oleh pemerintah 39% PDB itu hanya utang terkait pembiayaan APBN. Sebetulnya pemerintah punya utang lain yang memberikan risiko kepada APBN dan keuangan negara," tambahnya.
Misbakhun mengingatkan Pasal 12 UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, ayat 3 menyebutkan rasio utang pemerintah maksimal 60% PDB. Rasio 60% itu tidak disebutkan rasio utang atas pembiayaan APBN, tapi dinyatakan rasio atas utang yang bersifat umum.
"Tercantum juga rasio defisit max 3 % APBN. rasio 60% dan 3% tidak pada norma pasal, tapi dicantumkan dalam penjelasan Undang-undang," terangnya.
Ia pun mengungkapkan Menkeu Sri Mulyani selalu menolak ketika DPR meminta agar penyebutan angka rasio utang itu disebutkan pada batang tubuh Undang-undang, dan bukan pada penjelasan UU.
Lalu Kenapa kita perlu menghitung semua utang?
"Karena memitigasi risiko gagal bayar harus dimulai dari sistem pencatatan. Di Singapura, tabungan warga RI dicatat sebagai utang oleh negara. Pelajaran saat Krismon 1998, semua utang swasta tiba-tiba menjadi kewajiban pemerintah karena pemerintah memutuskan untuk membailout utang swasta. Itu akibat kita tidak memitigasi risiko utang. Jadi utang jaman pak Soeharto yang semula hanya Rp900 triliun, tiba-tiba melonjak menjadi Rp1400 triliun lebih karena ada tambahan Rp600 triliun utang baru. Akibat bailout utang swasta di BLBI dan menerbitkan obligasi rekap untuk itu," terangnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement