Apakah Pembuat Kebijakan Moneter dan Fiskal Harus Ikut Campur saat Ekonomi sedang Tidak Stabil?
Intervensi pemerintah saat kondisi perekonomian negara sedang resesi atau lesu merupakan salah satu topik sentral dalam konteks kebijakan makroekonomi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam kuliah umumnya di Universitas Indonesia pada 31 Mei lalu mengatakan bahwa ada dua kutub dalam membahas topik ini. Kutub pertama mengatakan bahwa pengambil kebijakan moneter (Bank Indonesia) dan pengambil kebijakan fiskal (Kementerian Keuangan) sudah seharusnya ikut campur dalam menstabilkan perekonomian saat kondisi extraordinary (luar biasa) terjadi, misalnya seperti Pandemi Covid-19 atau dampak dari Perang Rusia-Ukraina.
“Jadi memang debat ini itu menggambarkan dua kutub. Yang satu mengatakan policymaker itu harusnya aktif mengintervensi ekonomi karena ekonomi tidak selalu baik-baik saja. Kalau dia overshoot, tiba-tiba inflasi tinggi gara-gara perang di Ukraina. Perangnya di Ukraina, kemudian ekspor gas enggak muncul, harga minyak naik tinggi, harga batu bara naik tinggi, dan minyak bunga matahari enggak bisa diekspor dari Ukraina, maka harga cooking oil naik, CPO kita naik. Yang perang di ujung Eropa yang kena pengaruh inflasi seluruh dunia,” kata Sri Mulyani, dikutip dari kanal Youtube Kemenkeu RI pada Rabu (7/6/2023).
Baca Juga: Bawa Indonesia Menuju Ekonomi Hijau, Sri Mulyani Beberkan Sejumlah Upaya Pemerintah
Ia kemudian mengambil contoh saat masyarakat memprotes fenomena kelangkaan minyak goreng pada tahun lalu.
“Tapi yang lain bilang enggak boleh begitu. Pemerintah itu dipilih rakyat, dia punya tools. Maka kalau tiba-tiba ekonomi kena syok, seperti pandemi atau Perang Ukraina, itu tugas pemerintah untuk melindungi. Pertama, kemudian dibuatlah kebijakan waktu harga minyak goreng tinggi, kita bikin subsidi minyak goreng. Waktu kemudian harga BBM naik, kita menaikkannya tinggi banget, tapi subsidinya kasih lebih banyak lagi,” jelasnya.
Sementara itu, kutub lain mengatakan bahwa pemerintah tidak perlu ikut campur dalam menstabilkan perekonomian karena dikhawatirkan akan memperburuk keadaan.
“Memang ada yang mengatakan kalau diintervensi malah getting worse, makanya di dalam teks buku disebutkan kalau pembuat kebijakan itu do no harm, ekonomi biar jalan sendiri aja, jangan coba-coba (intervensi), nanti malah membuat ekonominya lebih jelek,” ujarnya.
Pemerintah seharusnya do no harm karena bisa saja kebijakan yang diambil justru tidak tepat sasaran.
“Yang kontra tadi, yang bilang enggak perlu untuk stabilizing dan fiscal policy, itu dampaknya ke ekonomi mungkin questionable (dipertanyakan). Yang kadang-kadang niatnya baik mau membenarkan eh malah hasilnya jelek, makanya mereka seharusnya do no harm,” tuturnya.
Namun, Sri Mulyani menjelaskan tidak ada yang mutlak benar atau salah dalam perbedaan dua kutub ini. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa penggunaan kutub ini harus disesuaikan dengan kondisi dan efektivitas kebijakan.
“Oleh karena, itu pro-kontra tadi bukan masalah ideologi, ini adalah masalah apakah kebijakannya bisa responsif, timely, dan efektif,” tandasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Novri Ramadhan Rambe
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait:
Advertisement